Oleh: Widi Garibaldi
Hari ini, 9 Desember, duapuluh satu tahun yang lalu. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan lahirnya Hari Anti Korupsi se Dunia (Hakordia). Pada hari itu, di Merida, Meksiko, sebuah kota wisata tepi pantai yang penuh dengan gedung era kolonial Spanyol ditandatangani perjanjian penting tentang kesepakatan antar bangsa untuk memberantas korupsi. Kesepakatan antar bangsa yang ditandatangani tak kurang dari 140 negara itu kemudian dikenal sebagai UNCAC, United Nations Conventions Against Corruption.
UNCAC yang merupakan instrumen hukum internasional, merupakan panduan untuk memerangi korupsi yang merupakan musuh bersama semua negara. Korupsi, merupakan momok bagi semua bangsa karena dapat menghambat dan merusak pembangunan sosial dan ekonomi, manakala tak dibasmi.
Menyadari hal tersebut, dengan UU No. 7 tahun 2006, Indonesia meratifikasi kesepakatan bersama memerangi korupsi yang bersifat internasional itu. Artinya, upaya pemberantasan korupsi yang telah diamini oleh dunia internasional itu, akan dilaksanakan pula oleh Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
Tekad Prabowo
Kendatipun mantan mertuanya, Presiden Suharto selama 32 tahun berkuasa, menurut perhitungan PBB dan Bank Dunia telah mengganyang uang rakyat hingga US $ 35 miliar tetapi Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto bertekad akan mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih.Tekad yang sangat melegakan hati rakyat itu terlontar dalam pidato-pidatonya yang penuh dengan janji, antara lain niat akan menjalankan hukum dengan tegas lagi keras.
Walaupun belum kelihatan buktinya, janji Prabowo itu tetap ditunggu dengan penuh harap. Maklum, Prabowo dikenal sebagai putera begawan perekonomian RI, Sumitro Djojohadikusumo yang dikenal bersih dari perbuatan yang menjadi musuh bangsa dan negara itu. Harapan rakyat ini cukup beralasan karena Prabowo sejatinya memiliki DNA anti korupsi.
Berbekal kepercayaan rakyat itu, adalah bijak manakala Prabowo secepatnya mendorong agar lembaga Legislatif segera mengundangkan RUU Asset Recovery. Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCAC, adalah kewajiban bagi Indonesia untuk memiliki undang-undang Asset Recoveri atau UU Perampasan Aset.Dengan undang-undang Perampasan Aset, kekayaan koruptor yang diduga berasal dari milik negara dapat dirampas kembali tanpa harus menunggu putusan Pengadilan yang in krach. Tak ubahnya bola pimpong, selama ini RUU Perampasan Aset bolak balik bergulir dari meja Presiden ke DPR.Hingga kini RUU itu tetap menjadi RUU. Belum juga berhasil diundangkan. Selain nasib RUU Asset Recovery yang tak jelas juntrungannya itu, nasib UU No.19 Tahun 2019 sebagai UU perubahan kedua tentang KPK juga menjadi tanda tanya besar. Apakah Prabowo benar-benar akan memberantas korupsi atau hanya sekedar berusaha menina bobokkan rakyat. Keberadaan KPK yang semula dimaksudkan sebagai lembaga ad hoc super body agar menjadi trigger terhadap Kejaksaan dan Kepolisian, akhirnya menjadi lembaga “pelengkap penderita” di ujung pemerintahan Jokowi. KPK kini tak lagi mandiri. Lembaga yang semula penuh wibawa, di masa pemerintahan Jokowi dijadikan lembaga yang harus patuh terhadap kehendak dan perintah Pemerintah. Artinya, kendalinya ada di tangan Presiden.Para komisioner KPK dan jajarannya harus siap dan patuh karena status mereka kini adalah ASN. Di samping itu, “senjata” mereka juga dipereteli dengan adanya ketentuan bahwa penyadapan harus seizin Dewan Pengawas dan lembaga SP3 kini juga menjadi milik KPK seperti Kejaksaan dan Kepolisian.
Selain secepatnya harus mengembalikan marwah lembaga anti rasuah itu, Prabowo diharapkan mempu pula menutup pintu-pintu peluang terjadinya korupsi. Maklum, korupsi itu adalah kejahatan yang tidak disadari kapan terjadinya, akan tetapi dalam kurun waktu tertentu berakibat fatal. Berpedoman kepada rumus yang disampaikan oleh Robert Klitgaard (seorang konsultan) korupsi bakal terjadi manakala terpenuhi rumus C=M+D-A (corruption = monopoly power + discreation – accountability).
Nah, jangan lupa, Korupsi itu adalah kanker, penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu genderang perang sudah harus segera ditabuh.
Kalau tidak sekarang,kapan lagi ?