Oleh: Widi Garibaldi
“ Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan oleh undang-undang kepada saya ”. Begitu sumpah/janji yang diucapkan oleh ke-5 Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan anggota Dewas Pengawas KPK yang baru di hadapan Presiden Prabowo di istana Negara. Sumpah itu mereka ucapkan di bawah naungan kitab suci. Artinya,disaksikan oleh Yang Maha Kuasa.
Dengan klaim telah menyetorkan dana rampasan koruptor sebesar 2,4 triliun rupiah kepada negara, KPK di bawah pimpinan Nawawi Pomolango segera akan mengahiri tugasnya. Nawawi ditunjuk memimpin badan anti rasuah itu menggantikan Firly Bahuri yang jenderal Polisi berbintang tiga. Di bawah kepemimpinan sang jenderal, KPK terpuruk hingga tingkat nadir. Ia sudah setahun ini menyandang predikat tersangka. Ia dituduh memeras mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo.Ini benar-benar “istimewa”. Ketua Lembaga pemberantas korupsi dituduh melakukan korupsi ! Hal “istimewa” lainnya yang meruntuhkan nama KPK adalah ulah 93 pegawainya yang melakukan pemerasan terhadap para koruptor yang sedang ditahan di penjaranya. Para koruptor itu setiap bulan diwajibkan memberi setoran yang jumlah seluruhnya tak kurang dari Rp 6,3 miliar. Seandainya ada yang berani membangkang, hak mereka menjadi taruhannya. Tidak akan diberikan, seperti keluar dari ruang sel, berolah raga dan sebagainya. Perbuatan mereka ini terbongkar tatkala seorang di antaranya berusaha hendak “mencicipi” isteri seorang koruptor yang sedang ditahan. Nah, sampai di sini KPK bukan lagi berarti Komisi Pemberantas Korupsi, tetapi dipelesetkan menjadi Komisi Pemeras Koruptor.
Tumpuan Harapan ?
Betapa merajalelanya korupsi di negeri ini, menjadikan Indonesia “berhasil” menduduki peringkat ke 115 di antara 180 negara di dunia.Artinya, RI menjadi negara terkorup ke 115 di antara 180 negara lain. Sungguh memalukan, karena kita berada di bawah negara Timor Leste, jauh di bawah negara jiran Malaysia apalagi Singapura. Menurut catatan, tak kurang dari 450 Kepala Daerah/Wakil, lebih dari 500 anggota DPR/DPRD, lebih dari 27 Menteri/Lembaga Negara dan 5 Ketua Partai Politik telah menjadi penghuni hotel prodeo Sukamiskin. Keadaan ini menunjukkan betapa permisifnya kita terhadap korupsi. Korupsi sudah dianggap sebagai hal biasa dan wajar. Adalah bodoh manakala seseorang yang memiliki wewenang atau kekuasaan tidak ikut-ikutan merampok uang rakyat. Batas-batas antara hak dan kewajiban sudah menjadi kabur. Mana hak saya, orang lain dan milik negara sudah tidak jelas. Akhirnya, milik negara dianggap sebagai milik sendiri.
Keadaan yang semkin permisif terhadap korupsi itulah yang diwariskan kepada para Komisioner dan Dewas KPK yang baru di bawah pimpinan Setyo Budiyanto yang Jenderal Polisi berbintang 3 dan Gusrizal yang Ketua Pengadilan Tinggi.
Akankah mereka mampu mengembalikan nama harum penuh wibawa yang pernah disandang KPK ? Apakah mereka mampu menjadikan negeri ini paling tidak gersang dari perbuatan korupsi ? Terus terang, banyak yang meragukan. Terutama karena para komisioner dan anggota Dewas yang terpilih itu adalah mantan birokrat yang diragukan tekadnya untuk menebas kepala koruptor dengan pedang yang tergenggam di tangannya. Keraguan ini semakin menjadi jadi manakala perubahan kedua UU KPK yakni UU No.19 Tahun 2019 yang menempatkan KPK di bawah kekuasaan eksekutif itu tidak segera di revisi.
Merevisi UU No.19/2019 adalah mutlak agar KPK kembali menjadi Lembaga anti rasuah yang mandiri, berdiri penuh wibawa di luar pengaruh kekuasaan eksekutif-legislatif dan yudikatif. Manakala hal ini tercipta, setiap anak bangsa akan dapat menepuk dada sembari berseru “ini baru KPK !”