Oleh: Widi Garibaldi
“Tiada maaf untukmu….!” biasanya dilontarkan manakala hubungan sosial sudah putus arang. Perbuatan yang bersangkutan sungguh luar biasa. Dianggap tak berperikemanusiaan. Hak asasi manusia, baik individu maupun masyarakat jadi taruhannya. Karena itu, dia harus dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Dia harus menebus dosa dan memperbaiki diri di Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas sesuai putusan Pengadil.
Konsep ini sejak lama sudah dilaksanakan tak terkecuali terhadap para Koruptor di tengah harapan masyarakat agar seluruh Pengadil justru harus senantiasa mengacu kepada putusan Hakim Agung Artidjo Alkautsar (alm) yang selalu menggandakan putusan.
Harapan masyarakat semakin menjadi-jadi tatkala mendengar pidato Presiden barunya, Prabowo Subianto, yang berapi-api akan mengejar koruptor di manapun berada. Ia bertekad akan memerangi korupsi karena hanya dengan pemerintahan yang bersih, cita-cita bangsa dapat tercapai.
Rakyat merasa mendapat Panglima nan perkasa yang tak gentar melawan koruptor yang menggurita. Maklum, Prabowo adalah seorang jenderal. Jenderal pasukan khusus lagi. Ia sudah malang melintang di medan perang. Medan penuh tantangan maut seperti Timor Timur dan Papua. Harapan masyarakat semakin menjadi-jadi karena ia memiliki DNA anti korupsi, diturunkan oleh ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo. Selain itu, ia sudah selesai dengan dirinya. Ia kaya raya, tak perlu lagi harus mengakali uang rakyat. Jadi, kalau mau, ia pasti dapat memberantas korupsi, penyakit turunan bangsa dan negara. Maklum, ia adalah seorang Presiden yang power-full karena lebih dari 82 % suara rakyat di lembaga Legislatif ada di tangannya. Undang-undang apapun yang dianggapnya perlu untuk memerangi korupsi pasti akan diamini penghuni Senayan itu.
Menunggu Godot ?
Seperti halilintar di siang hari bolong masyarakat menyaksikan bahwa dalam sebuah pidato di hadapan para mahasiswa di Kairo, Mesir, Presiden Prabowo merencanakan akan memberikan maaf kepada para koruptor asal saja mereka mengembalikan uang hasil kejahatannya itu kepada negara. Nanti, begitu katanya, cara mengembalikan uang itu akan diatur sedemikian rupa sehingga aman bagi sang koruptor. Dengan mengembalikan uang jarahan itu, ia tidak akan diketahui oleh masyarakat bahwa sesungguhnya adalah seorang koruptor. Kendatipun pemberian maaf kepada para koruptor ini merupakan bagian dari rencananya akan memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana yang memadati Lapas di seantero Nusantara, seperti dikatakan oleh Menko Yusril Ihza Mahendra, tetapi pemberian maaf kepada koruptor menyimpang dari ketentuan undang-undang. Bukankah korupsi itu dikenal sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime ?
Mengenai pengembalian uang hasil kejahatan korupsi yang diharapkan oleh Prabowo itu sebenarnya selama ini sudah berjalan yakni dalam bentuk hukuman tambahan yang dijatuhkan oleh para Pengadil di Pengadilan. Jadi selain harus menjalani hukuman badan, si koruptor biasanya dijatuhi pula hukuman pokok berupa denda ditambah lagi dengan hukuman tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Jaksa sebagai eksekutor wajib melelang aset si koruptor untuk disetorkan kepada negara. Apabila nilai asetnya tidak cukup, sang koruptor harus menjalani hukuman pengganti, sampai kewajibannya itu lunas !
Nah, kembali kepada anjuran Presiden Prabowo agar para Koruptor itu mengembalikan jarahannya, sungguh sangat mengecewakan masyarakat. Anjuran Prabowo ini dianggap bertolak belakang dengan janji-janjinya kepada rakyat, yang sudah lama ditunggu sejak ia berkampanye untuk menjadi Presiden. Ibarat menanti Godot yang tak pernah menampakkan diri.
Dengan logika sederhana, masyarakat bertanya ” mana ada pencuri yang mengakui perbuatannya ?”