Dari sini, tumbuh suburlah “Pluralisme Ilmu” . Satu “isme” yang semakin umum di kalangan intelektual memasuki milenium kedua ini. Sebuah pandangan yang secara hakiki menolak adanya kodrat objektif Ilmu Pengetahuan. Dalam pandangan ini, kebenaran ilmu pengetahuan bersifat relatif terhadap kerangka konsep dan paradigma tertentu yang telah dipilih sebelumnya. Oleh karena konsep-konsep dan paradigma bisa dibangun secara beragam, maka kebenaran ilmu pun menjadi bersifat jamak. Status benar suatu teori ilmiah tidak akan pernah mencapai objektif-universal. Hanya benar dalam kerangka konsep dan paradigma tertentu, belum tentu dalam kerangka konsep dan paradigma yang lain. Maka menggali ilmu tak relevan lagi dipandang sebagai ikhtiar mencari kebenaran tunggal-monumental. Ia tak lebih dari usaha mencari kebenaran “instrumental”. Karena kebenarannya plural relatif terhadap sistem konseptual yang dipakai, yang perlu dilakukan hanya memilih yang paling cocok untuk menunjang tujuan-tujuan pragmatis kita. Bisa tujuan pribadi, kemanusiaan, politik, dll. sesuai “Will” masing-masing. Dalam konteks ini, teori yang paling cocok secara instrumenral, itu lah teori paling benar.
Pandangan pluralistik ini membuat khalayak di luar komunitas Ilmiah menggeser sikap mereka dari skeptis ke sinis terhadap Ilmu Pengetahuan. Ilmu tidak lagi dianggap sebagai alat kalibrasi kebenaran final. Muara pemutus dari kompetisi diskursus tentang fakta dan dunia. Malah dianggap sebagai “variant” dari opini, sebagaimana halnya opini-opini publik yang didasarkan pada rasionalitas awam (common sense). Karena terdegradasi dari teori menjadi opini, maka deskripsinya semakin dicurigai sebagai membawa kepentingan-kepentingan tersembunyi dari sang atau komunitas ilmuwannya sendiri. Dengan kata lain deskripsi ilmiah tak lagi dianggap sebagai murni pernyataan fakta, tetapi sudah dituduh membawa kepentingan personal dan komunal tertentu. Ilmu dan ilmuwan dituduh sebagai kelompok politis, yang menopengi secara canggih dan halus kepentingannya dengan konsep dan jargon yang diklaim objektif dan ilmiah.
Situasi ini diperberat dengan semakin nampaknya kelemahan daya prediksi Ilmu Pengetahuan dalam meneropong fenomena masa depan yang berpengaruh besar terhadap kehidupan ummat manusia. Revolusi teknologi yang berlangsung dalam tempo yang semakin cepat, membuat “disrupsi” merebak dalam berbagai bidang kehidupan. Perubahan radikal yang menggoncangkan hidup datang susul menyusul dalam pola yang kompleks dan tidak bisa perkirakan sebelumnya. Bahkan oleh perangkat dan komunitas Ilmu pengetahuan. Kecanggihan teori, eksplanasi, formulasi matematis hanya bisa menjelaskan ke belakang. Bersifat “post factum”, setelah fenomena-nya terjadi. Namun semakin tak mampu memperkirakan, memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan berdasarkan data-fakta masa kini dan lalu. Padahal mereka sering kali mengklaim telah menemukan “regularitas”, pola agung, semacam hukum yang mengatur perilaku dunia alam dan dunia sosial. Yang dengannya mereka bisa menjelaskan apapun baik ke belakang, maupun menebak akurat ke depan.
Para kritikus Ilmu memberi contoh terdekat. Bagaimana krisis ekonomi global di akhir tahun 1990an meletus tanpa pernah diperkirakan oleh seorang ilmuwan-pun. Padahal pada masa itu menggelembung kepercayaan diri para ekonom dunia, bahwa fenomena siklus ekonomi telah menemukam obatnya secara ilmiah, sehingga tak akan terjadi lagi. Kasus terakhir adalah bencana Covid-19. Wabah yang melumpuhkan sistem sosial ekonomi normal global ini hadir serta-merta, tanpa ada peringatan sedikitpun sebelumnya dari hasil analisis komunitas Ilmu Pengetahuan.
Rapuhnya daya prediksi komunitas Ilmu memperburuk pandangan “pejoratif” terhadap ilmu dan kecendekiaan. Namun, ada implikasi yang lebih buruk lagi dari perspektif demokrasi. Yakni, hal ini telah dimanfaatkan secara lihay oleh politisi populis irrasional, atau dalam ungkapan lebih halus: “supra-rasional” , untuk mengkonsolidasi emosi dan dukungan masyarakat dalam rangka menggamit kekuasaan.
Secara langsung dan tidak langsung mereka menuduh bahwa teknoratisme ilmiah telah merampas legitimasi kekuasaan dan kebijakan dari tangan rakyat ke tangan elit mereka. Suara publik menjadi marjinal dalam menentukan keputusan hajat hidup orang banyak, digantikan oleh pertimbangan unilateral beragam lembaga teknokratis dari mulai tingkat global sampai regional. Pada deretan itu ada IMF, World Bank, WTO, wHO, dan beragam lembaga riset-kajian lebijakan milik pemerintah maupun non pemerintah. Atas nama kebenaran ilmu, negara dengan mudah menetapkan rekomendasi kebijakan mereka dengan mengabaikan suara masif publik. Padahal disisi lain, tak lama setelah keputusan publik itu diberlakukan, hasil dan dampaknya justru menimbulkan masalah dan kesulitan bagi masyarakat itu sendiri. Bertolak belakang dengan preskripsi-prediksi ilmiah yang digaungkan sebelumnya. Kondisi paradoksal ini dieksploitasi dengan retorika kegagalan teknokrasi dalam mendatangkan maslahat publik melalui perangkat kebenaran ilmiah yang selama ini diagungkan. Simbol-simbol institusional teknoratis juga dipojokan telah mengebiri demokrasi untuk beragam kebijakan publik yang justru menyusahkan masyarakat. Lalu, Elit politik populis-emosional tersebut mengajak publik untuk kembali mempercayakan keputusan kepada norma dan pertimbangan publik, yang dicerna berdasarkan nalar “common sense” dan nilai sentimental-primordial masyarakat. Mereka melakukan propaganda kepada publik untuk meninggalkan kerumitan proposisi dan solusi teknokratis yang tak jelas, ke kebijakan-kebijakan nalar awam yang lugas dan sederhana. Afeksi dan emosi publik dieksplorasi sebagai “mata air”potensial untuk membangkitkan kesadaran baru (meski mungkin palsu) publik dan mengkonsolidasi suara rakyat untuk kemenangan pemilu. Dengan diadulawankan dengan citra kemerosotan dan “kemelesetan” Teknoratisme-ilmiah sebagaimana tersebut di atas, elit politik populis-suprarasional Itu segera mendapat simpati dan dukungan publik. Pemasifan dukungan terhadap mereka sangat dipengaruhi oleh kemudahan dan kecepatan aliran komunikasi-informasi yang disediakan oleh teknologi media sosial yang berkembang semakin canggih.
NARASI VERSUS PROPOSISI :
“KRISIS KEPAKARAN”
Kondisi mutakhir global dilandasi disrupsi teknologi informasi massif. Berkembangnya jaringan media sosial membuat komunikasi dan diskursus berlangsung antar orang tanpa dibatasi lokalitas ruang dan waktu. Informasi, persuasi, propaganda apapun bentuk dan sifatnya bisa masuk ke kepala setiap orang dimanapun, tanpa filter. Sumber pembentukan persepsi, opini dan “belief” publik bisa datang dari mana saja, bahkan anonim. Negara tidak lagi memegang hegemoni dalam penyaluran informasi kepada masyarakat. Kemampuan negara, melalui institusi formalnya, untuk mengendalikan dan mengindoktrinasi persepsi publik turun drastis. Diganti oleh kuasa industri yang membiarkan gagasan, gossip, doktrin berebut pengaruh menguasai pikiran orang dalam “chaos” komunikasi media sosial.
Inilah era “Post Truth”, zaman pasca kebenaran. Kebenaran tunggal yang dikemas dalam narasi agung menjadi buyar. Dihantam perebutan tanda dan makna teks massa dalam sengkarut media sosial virtual. Benar dan salah tidak lagi ditentukan oleh substansi objeknya. Tapi oleh kekuatan emosional kata dan retorika, melalui strategi kuantifikasi: kata-makna digelontorkan terus menerus ke kepala orang-orang dalam jejaring internet hampir tanpa batas. Ini-lah era pasca kebenaran (post truth). Era dimana kebenaran diperebutkan bukan dengan substansi dan objektivitas. Tapi dengan kekuatan emosi teks dan dominasi panggung narasi dunia maya.
Dalam situasi inilah teknoratisme ilmiah mengalami kemerosotan dan dipojokan oleh narasi banal-emosional kelompok politik irasional. Bahkan lebih dari itu, kondisi “post truth” memberi latar sekaligus wadah dalam kancah demokrasi yang menguntungkan bagi narasi politik emosional untuk semakin menyudutkan dan menjauhkan narasi ilmiah berbasis “knowledge” dari publik. Di panggung medsos yang sangat demokratis, kubu proposisi ilmiah bertarung dengan kubu narasi politik sentimental yang mungkin palsu, namun lugas dan sederhana. Dan nampaknya kubu kedua lebih memikat hati publik.
Hasil demokrasi di berbagai negara Eropa dan Amerika 2015-2016 dan yang terakhir tahun 2024 di Amerika, memberi tanda cukup jelas akan hal itu. Para pemenang kontestasi demokrasi yang dipilih rakyat di kawasan itu adalah Partai Kanan Polandia Bersatu, Partai Fidesz Hongaria, Gerakan Lima Bintang Italia, Front Nasional Perancis, Partai Demokrat Swedia, Recep Erdogan (Turki), Jair Bolsonaro (Brasil), dan Donald Trump (AS). Hasil demokrasi yang terjadi di negara-negara kawasan Asia, termasuk Indonesia, sangat mungkin juga memberikan isyarat yang sama. Meski tentu bisa diperdebatkan. Mereka yang memikat kepercayaan rakyat dan memenangkan kompetisi demokrasi tersebut adalah pihak yang lihay merayu publik dengan narasi emosi-sentimental daripada menggunakan argumen faktual yang ilmiah dan canggih.
Mereka sangat cakap mengelola isu-isu publik yang mampu jadi magnet kuat dan cepat bagi emosi publik. Isu-isu tersebut karena memang harus lugas dan berdaya pikat, cenderung berupa gagasan-gagasan ekstrim bisa ke kiri, dan bisa pula ke arah kanan. Beberapa mampu memikat publik dengan menghadirkan fiksi dramatis nasionalisme sempit yang cenderung “chauvinistik” tentang ancaman besar identitas bangsa dari monster ekonomi-politik global. Sebagian lain bisa menghipnotis publik dengan propaganda hiperbolis tentang kejahatan terencana lembaga-lembaga keuangan multilateral-global untuk menghancurkan bangsa dan ekonomi dalam negeri. Isu-isu dan narasi tersebut tanpa terkait dengan validitasnya terbukti efektif menghasilkan euforia dan histeria massa yang telah mengkristalkan kemenangan gemilang pemimpin-pemimpin politik yang mengusungnya di berbagai negara. Sungguh selaras dengan adagium politik pragmatis: tidak perlu benar-faktual yang penting menang-gemilang
Dalam demokrasi saat ini, publik di mana-mana lebih senang dan nyaman dengan narasi simple, instan, menyentuh emosi, dan sekali tangkap yang sesuai dengan kondisi psikologi massa yang sudah lelah dan muak dengan dalil-dalil teknokratis ilmiah yang banyak diselewengkan, ditopengkan oleh kekuasaan untuk korup, menipu dan menyusahkan rakyat. Maka pemimpin-pemimpin bangsa yang dipilih dan tampil adalah mereka yang berhasil mengaduk dan mengadon sentimen publik, bukan lagi yang pintar menggali dan menyajikan fakta-data. Pertimbangan pilihan demokrasi bukan lagi soal rasionalitas dan irrasionalitas argumentasi, tapi lebih ke soal “compatible dan incompatible” dengan emosi sintemental subjektif massa. Orientasi nalar irasional ini diperkuat dan berjalan sinergis dengan praksis pendekatan penggalangan massa berbasis relasi transaksional yang instant, tunai, alias ‘crung-creng” diantara pemilih dan yang akan dipilih. Demokrasi tak lagi dikuasai oleh simponi argumentasi aqliyah yang ilmiah, kritis dan mencerdaskan, tapi didikte oleh orkestrasi narasi sentimental yang mungkin isinya hampir hoax semua, tapi dibungkus dengan rupa warna gimmick yang lugas dan memikat. Nampaknya, Demokrasi saat ini harus rela, Dia tidak lagi dipandu oleh pertukaran proposisi dan diskursus rasional-ilmiah dan faktual. Melainkan telah bergeser menjadi hajatan publik yang bising dengan pertarungan narasi dan klaim sentimental, yang tidak merangsang kecerdasan, tetapi hanya mengaduk-ngaduk emosi publik. Kepakaran, knowledge, profesionalisme teknokratis sebagai rumah bagi lahirnya narasi dan diskursus rasional demokrasi, telah diganti oleh “kefakiran” nalar yang irasional namun ternyata mampu jadi alat rekayasa pembangun emosi dan pilihan publik. Wallohu Alam bisshawab.