Oleh: Dr. Ir. Ukas Suharfaputra, MP.
(Sekretaris Dewan Pakar ICMI Kabupaten Kuningan)
Negara sebagai sebuah tata kelola adalah ilmu sekaligus seni meramu keputusan, kebijakan untuk maslahat publik. Saat ini, sistem pengambilan keputusan dasar dalam bernegara yang umum dianggap paling unggul dan adil, adalah Demokrasi. Kekuasaan di tangan seluruh rakyat. Siapapun yang memegang tampuk pemutus kenegaraan, sebelumnya haruslah diputuskan oleh seluruh rakyat melalui pemilihan umum. Hanya melalui jalan itulah legitimasi, sah-nya kekuasaan bisa didapatkan.
Demokrasi di abad 20-21 tumbuh dalam arus perkembangan penemuan ilmu dan teknologi yang akseleratif. Ilmu alam, Ilmu sosial, dan Ilmu pemerintahan sama produktifnya dalam pengembangan teori-teori kontemporer. Lebih penting lagi, kontribusinya dalam ranah praktis kehidupan juga masif. Ilmu dan teknologi jadi penentu dalam proses keputusan kebijakan publik (negara). Maka teknokratisme merebak dalam tata kelola negara. Berbagai bentuk lembaga berbasis ilmu dan kepakaran bermunculan. Badan kajian ilmu pengetahuan, organisasi think-tank ekonomi, institusi riset dan kajian kebijakan jadi sumber pertimbangan negara dalam mengambil keputusan. Otoritas keilmuan, kecendekia-an jadi pendamping dalam proses keputusan negara disamping proses politik berbasis demokrasi.
AROGANSI REJIM ILMIAH
Awalnya otoritas ilmiah menjadi pelengkap dari proses demokrasi dalam melahirkan kebijakan-kebijakan negara untuk kemaslahatan publik. Ia dimaksudkan untuk menjamin bahwa secara teknis-objektif kebijakan-kebijakan itu memang tepat menghasilkan kemaslahatan publik, sebagaimana dikehendaki oleh sistem demokrasi itu sendiri.
Namun kemudian, ia melampauinya. Institusi-institusi ilmiah itu menggeser peran kekuatan demokrasi dalam memutuskan berbagai kebijakan penting berdampak publik. Yang awalnya pelengkap, lambat laun malah jadi kompetitor. Kebijakan negara lebih sering mencari jastifikasi dan legitimasi di balik argumentasi ilmiah dari pada mengacu pada aspirasi publik. Contoh, kebijakan pinjaman negara yang berdampak pada beban suatu bangsa diputuskan atas kesepakatan institusi think-tank dan lembaga donor internasional. Tidak mengindahkan arus keinginan publik. Juga, keputusan-keputusan penting yang berdampak pada hajat hidup dasar rakyat, lingkup kesehatan, ekonomi,dan pendidikan, ditetapkan atas rekomendasi otoritas teknoratis. Yang diberikan lembaga-lembaga kajian resmi, baik independen, maupun yang dibentuk oleh negara. Tidak didasarkan pada keinginan publik yang menanggung dan merasakan langsung berbagai hajat kehidupan tersebut.
Harapan dan suara publik, yang jadi jantung demokrasi justru kurang dianggap, bahkan cenderung diabaikan.
Elit ilmiah dan elit negara terjebak dalam megalomania keilmuan. Karena berdasar metoda ilmiah, analisa dan kesimpulan ilmiah dianggap mutlak presisi. Sementara suara publik, dipandang tidak “reliable” sebagai acuan karena didasarkan pada “common sense”, pandangan awam yang bersumber dari emosi-sentimen subjektif.
Kepongahan teknokratis plus sumbatan aspirasi demokratis ini jadi fenomena umum di negara-negara yang sedang gencar meniru, melakukan replikasi demokratisasi. Demokrasi sebagai manifestasi liberalisme dianggap melenceng dari misi awalnya. Filsuf dan sosiolog barat, yang mengagungkannya, menyebut penyimpangan ini sebagai “undemocratic liberalisme”. Liberalisme nir demokrasi yang dibajak oleh pengkultusan teknokraksi rejim ilmiah, yang justru meminggirkan kebebasan dan supremasi aspirasi publik yang menjadi nyawanya.
TITIK BALIK
Kondisi tersebut menumbuhsuburkan pandangan curiga terhadap komunitas ilmu dari kalangan intelektual anti-mainstream dan elit politik populis yang suka menggalang sentimen-emosi publik. Para filsuf dan cendekiawan postmo anti kemapanan menuduh ilmu dan narasi yang dihasilkannya hanya jadi alat untuk mengukuhkan kekuasaan. Bahkan lebih jauh lagi, beberapa pemikir radikal, seperti Michel Foucoult, menuduh ilmu pengetahuan dan semua bentuk representasi institusionalnya adalah tangan kekuasaan itu sendiri. Yang berupaya mendominasi dan menundukan publik untuk menuruti seluruh alur dan skenario atur kehidupan yang mereka ciptakan. Dalam pandangan yang lebih radikal ini, Ilmu itu bukan lagi jadi alat kekuasaan, bahkan menjadi pengendali kekuasaan itu sendiri. Berbagai jargon global yang bermunculan di era peralihan milenial, seperti perdagangan bebas (free trade), pertumbuhan ekonomi global, pemanasan global, Milenium Development Goal (MDG’s), adalah contoh narasi besar yang mereka ciptakan untuk mencengkram publik dalam kontrol kekuasaannya. Ini jelas tuduhan yang sangat serius.
Pandangan kecurigaan itu semakin diberi ruang dengan merebaknya ilmuwan-ilmuwan “konstruktivis” khususnya dalam disiplin Ilmu Sosial. Mereka membangun teori yang menelanjangi kedok objektivitas dan netralitas Ilmu itu sendiri. Dipelopori oleh Thomas Kuhn, filsuf yang melahirkan karya terkenal: “The Structure of Scientific Revolution”. Menurut mereka, Ilmu baik dinamika maupun teori-teori-nya, hanyalah bagian dari proses sosiologis manusia semata. Semua konsep dan teori ilmiah adalah konstruksi sosial yang dimapankan berdasarkan kesepakatan yang dipengaruhi oleh rasionalitas tertentu, yang dipandang sah relatif terhadap konteks sosial dan temporal tertentu. Sejalan dengan waktu, dalam konteks rasionalitas, sosial, dan kebenaran baru, teori-teori mapan tersebut bisa saja dirombak, bahkan dipersalahkan untuk kemudian dibangun teori yang benar-benar baru.