Oleh: Widi Garibaldi
Untuk memantau keadaan cuaca, para petugas Badan Meteorologi biasanya menggunakan balon berisi gas hydrogen. Dengan melepas balon itu ke udara akan dapat diketahui suhu,tekanan dan kelembaban udara.Selain itu akan diketahui juga ketinggian dan kemana angin berembus.
Apa yang dikerjakan oleh para petugas Meteorologi itu, dalam dunia perpolitikan dikenal sebagai “proof balloon”. Untuk mengetahui pendapat pihak lain, sengaja dilepas pendapat yang penuh ketidakpastian sehingga dari reaksi pihak lawan kita akan mengetahui pendapat mereka yang sesungguhnya.
Di akhir tahun 2024 ini, masyarakat disuguhi aneka ragam informasi yang saling bertentangan sehingga menimbulkan tanda tanya besar. Bertolak belakang dari pidato-pidatonya yang menggelegar. Prabowo yang Presiden RI ke-8 menyatakan akan memberikan pengampunan kepada para koruptor dengan syarat bersedia mengembalikan jarahannya. Sulit ditebak, apakah Presiden dan pembantu-pembantunya tidak menyadari adanya undang-undang yang menyatakan “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana…”. Ketentuan ini secara gamblang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Menyimpang dari ketentuan undang-undang tentu saja dapat dimaknai sebagai perbuatan melanggar undang-undang.
Penuh Keraguan
Niat memaafkan para koruptor itu kemudian lebih diperluas lagi oleh pembantunya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Menteri Hukum yang sejak lama menjadi wakil rakyat di Senayan ini menyatakan bahwa perbuatan para koruptor yang menggerus uang rakyat itu akan diampuni oleh Pemerintah manakala mereka sudi membayar denda damai. Ia tidak menyadari bahwa denda damai adalah kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung dalam hal tindak pidana ekonomi yakni yang menimbulkan perbuatan yang merugikan perekonomian negara, misalnya dalam hal pajak.
Menyadari bahwa denda damai sama sekali tidak dikenal dalam upaya pemberantasan korupsi mendorong Menteri Hukum itu membatalkan rencananya untuk memberlakukan denda damai bagi para koruptor. “Sampai disini saja, sudah clear”, begitu harapannya menutup kemungkinan semakin luasnya reaksi masyarakat yang apabila tidak dicegah dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang diwakili oleh para pembantu Presiden.
Soal maaf memaafkan para koruptor ini memang merupakan bagian dari rencana pemerintah di bawah Presiden Prabowo yang akan memberi amnesti kepada 40.000 narapidana, termasuk para koruptor. Kalau pengampunan terhadap para korban narkotika dapat dimengerti, tidak demikian halnya dengan para koruptor. Sesuai dengan ketentuan undang-undang, para korban narkotika itu seharusnya direhabilitir bukan dimasukkan dalam penjara. Gagasan rehabilitasi para korban narkoba ini juga tentu akan menimbulkan tanda tanya besar, sejauh mana pemerintah telah mempersiapkan pusat-pusat rehabilitasi untuk mereka ?
Khusus dalam pembinaan hukum, langkah-langkah yang diambil pemerintah ini sungguh meragukan. Mungkin saja ada yang berpendapat bahwa wacana tersebut tak lebih dari pruf balon semata.Kendati demikian, jangan salahkan masyarakat manakala dalam memasuki tahun baru 2025, mereka melangkahkan kaki dengan penuh was-was.