Oleh: DADDY ROHANADY, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat

Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di negeri ini. Lebih dari 50 juta jiwa merupakan angka yang tidak sedikit. Jumlah tersebut hampir setara dengan total penduduk negara-negara Balkan di bagian Tenggara Eropa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, Jabar sebenarnya bisa memiliki peran yang sangat strategis. Pertanyaannya, seberapa strategis posisi Jabar di zaman kiwari?

Infrastruktur publik sangat dibutuhkan jika kita ingin mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi. Bagaimana mungkin kita memberikan pelayanan public secara maksimal jika sarana dan prasaranya tidak mencukupi untuk itu?

Tidak mungkin pemerintah provinsi Jabar mampu memberikan pelayanan pendidikan secara maksimal jika masih lebih dari 100 kecamatan yang belum memiliki SMA/SMK negeri. Padahal –suka tidak suka dan mau tidak mau– kita harus menerima kenyataan bahwa mayoritas masyarakat masih menginginkan anak-anaknya bersekolah di SMA/SMK negeri. Kewenangan SMA/SMK dan SLB merupakan bagian dari kewenangan pemerintah provinsi.

Alokasi APBN untuk Jawa Barat Capai Rp122,2 Triliun, Daddy Optimis Pertumbuhan Ekonomi 2025 Naik

Kondisi tersebut menuntut adanya akselerasi pembangunan unit sekolah baru SMA/SMK negeri di semua kecamatan tersisa yang “tertinggal” itu. Dengan demikian, tidak aka nada lagi anak-anak di Jabar yang harus melanjutkan sekolah ke SMA/SMK di kabupaten/kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya. Di sisi lain, kebijakan penerimaan siswa berdasarkan zonasi juga tidak terlepas dari pro-kontra. Misalnya, para orang tua mengejar “zona aman”, demi anaknya diterima di sekolah unggulan.

“Sekolah unggulan” telah melahirkan kompleks baru dalam skala besar yang isinya para calon siswa. Belum lagi kasus yang sempat merebak, yakni terkait “cuci raport” dan “prestasi dadakan”. Memang semua itu dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Namun, hal itu juga terjadi karena adanya celah untuk melakukan hal itu. Kita tidak mungkin membiarkan fenomena tersebut terus terjadi.

Demikian juga dengan pelayanan di bidang kesehatan. Jumlah penduduk yang 50 juta orang lebih itu tersebar di 27 kabupaten/kota. Tidak mungkin semua hanya bertumpu pada Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) di Kota Bandung. Memang, dari segi kelengkapan, baik dokter maupun peralatan, RSHS sudah sangat memadai. Namun, tidak mungkin pula hal it uterus dibiarkan.

Sebenarnya beberapa kebijakan di masa lalau sudah benar arahnya. Beberapa wilayah semestinya memiliki rumah sakit regional dengan skala pelayanan sesuai standar cakupan wilayah regionalnya masing-masing. Di Kota Cirebon, misalnya, ada RS Gunungjati. RS tersebut diharapkan mampu menangani pasien dari, setidaknya, wilayah Ciayumajakuning (Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan).

Sayangnya harapan itu kerap kali juga kurang mendapat sambutan masyarakat. Sebenarnya hal itu juga bisa dipahami karena RS Gunungjati tidak ditunjang dengan jumlah dokter spesialis dan sarana/prasarana sehebar RSHS. Belum lagi jika kita bahas jumlah tempat tidur yang ada. Jadi, agak sulit juga kita membendung stigma “kalua mau lengkap yang ke RSHS”.

Dari 27 kota/kabupaten di Jawa Barat, daerah yang memiliki rumah sakit tingkat provinsi baru enam daerah. Itu pun dengan peta sebaran kurang merata. Enam rumah sakit tersebut dalah RSUD Al Ihsan di Kabupaten Bandung, RS Jiwa Cisarua di Kabupaten Bandung Barat, RS Paru Sidawangi di Kabupaten Cirebon, RSUD Jampang Kulon di Kabupaten Sukabumi, RSUD Pameungpeuk di Kabupaten Garut, dan RS Kesehatan Kerja Rancaekek di Kabupaten Bandung.

Dari segi penanganan jalan dan jembatan pun masih ada saederet pekerjaan rumah. Jika perekonomian diharapkan berjalanlancar sehingga laju pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, dibutuhkan jalan yang mantap. Bagaimana mungkin arus orang dan barang akan lancar jika, misalnya, jalan tidak daklam kondisi mantap (baik)? Jalan provinsi yang panjangnya 2.360,58 km itu sekitar 50% umur rencana teknisnya sudah habis. Jadi, jalan seperti itu harus direkonstruksi. Jika hanya langkah pemeliharaan rutin yang dilakukan, artinya kita menunggu “bom waktu”.

Jabar juga merupakan lumbung padi nasional. Artinya, Jabar menjadi penyuplai beras terbesar secara nasional. Beberapa tahun lalu memang wilayah nomor satunya ada di Kabupaten Karawang. Seiring berjalannya waktu dan terjadinya alih fungsi lahan, lumbung Jabar bergeser ke Kabupaten Indramayu. Memang Karawang masih berperan untuk itu selain wilayah lainnya semisal Kabupaten Subang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor.

Terkait posisinya sebagai lumbung padi nasional, seberapa kuat Jabar membendung arus alih fungsi lahan? Lalu, seberapa siap ketersediaan benih, pupuk, teknologi, dan irigasi mendukung posisi jabar tersebut? Berbagai inovasi yang ada telah melahirkan banyak benih unggul. Pabrik pupuk juga ada di banyak wilayah, bahkan di Jabar (Karawang) juga ada pabrik Pupuk Kujang. Artinya, semestinya pupuk tidak menjadi persoalan serius seperti yang kerap kita jumpai di lapangan. Demikian pula dengan teknologi pertanian yang terus berkembang.

Irigasi juga memiliki peran strategis dalam mendukung kemandirian pangan daerah. Bagaimana mungkin sawah-sawah akan menghasilkan produktivitas yang baik jika tidak didukung dengan pasokan air yang memadai. Faktanya, masih banyak saluran irigasi di Jabar yang membutuhkan penanganan serius.

Kondisi tersebut membuat indeks pertanaman Jabar masih di bawah 2. Hal itu berdampak pada nilai tukar petani (NTP). Per Juli 2024 NTP Jabar adalah 110,92%, sedangkasn NTP nasional per April 2024 adalah 116,79%. Itu menunjukkan bahwa kesejahteraan petani dianggap belum terlalu menjanjikan. Tidak mengherankan jika lantas animo generasi muda untuk menjadi petani tidak terlalu menggembirakan. Hal itu terlihat dari usia rata-rata petani kita yang sudah di atas 40 tahun.

Terlepas dari berbagai hal tersebut, ada sederet catatan lain sepanjang 2024.
1. Apresiasi untuk para OPD yang mendapat penghargaan dari berbagai pihak sepanjang 2024. Misalnya
a. Pemprov Jabar: Outstanding in Campaigning Growth and Public Empowerment dalam ajang CNN Indonesia Award 2024;
b. Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang: Penghargaan Kementerian Pekerjaan Umum pada Puncak Peringatan Hari Jalan Tahun 2024
c. Provinsi dengan kategori realisasi pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi dan peningkatan PAD tertinggi dari Kemendagri.
d. Dan masih sederet panghargaan lainnya.
2. Beberapa hal yang masih perlu pembenahan, semisal di Dinas Lingkungan Hidup terkait penanganan persampahan regional. Apa yang terjadi di Sarimukti, saya kira, harus segera dibenahi dalam beberapa hal, semisal penanganan air lindi yang mencemari Citarum. Lalu ada pula penanganan Sungai Cilamay yang kadar COD dan BOD-nya sudah sangat jauh di atas ambang batas.
3. Penanganan kawasan kumuh harus terus diupayakan oleh Dinas Permumahan dan Permukiman, termasuk masalah air minum dan perbaikan rumah tidak layak huni.
4. Penertiban penggunaan air permukaan dan air tanah dalam di Dinas ESDM juga harus terus dioptimalkan karena berkaitan pula dengan pajak yang akan diterima.
5. Rekonstruksi dan pemeliharaan jalan harus terus dilakukan oleh Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang untuk mewujudkan “jalan mantap ekonomi lancar”.
6. Semua memang membutuhkan biaya. Artinya dibutuhkan dukungan anggaran yang memadai untuk merealisasikan semua itu.
7. Masih sederet pekerjaan rumah yang harus diselesaiakn oleh Gubernur Jabar terpilih Kang Dedi Mulyadi (KDM). Semua indikator makro, semua indikator kinerja utama (IKU), semua target dan sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJPD dan nantinya juga RPJMD, membutuhkan upaya serius untuk mewujudkannya.
8. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah harus merumuskan itu semua dan menungkannya dalam sebuah rencana kerja yang terukur, akuntabel, transparan, yang pada tataran implementasinya harus dilakukan secara efektif, dan efisien.

Dengan sederet PR tersebut, masih mungkinkah Jabar berperan secara strategis di tingkat nasional? Mungkinkah Jabar akan berkontribusi dalam kancah nasional? Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan oleh Kang Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan sebagai Gubernur-Wakil Gubernur terpilih hasil pilkada 2024?

Selain pembenahan internal pemerintahan, KDM sebagai orang nomor satu di Jabar harus melakukan pula koordinasi dengan semua pemangku kepentingan. Selain bekerja sama dengan DPRD Provinsi Jabar, KDM harus pula berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat dan 27 pemerintahan kabupaten/kota se-Jabar. Di luar itu, KDM juga harus berkolaborasi dengan banyak pihak lainnya di luar pemerintahan. Jadi, sederet pekerjaan sudah menanti untuk segera ditangani.

Sebenarnya Langkah para kepala daerah sudah “diperingan” dengan terjadinya penyelarasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dengan semua Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Hal itu akan disusul dengan penyelarasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPN) dengan semua Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan semua penyelarasan itu maka tujuan pembangunan nasional dan tujuan Pembangunan daerha akan semakin sinkron. Tinggal menguatkan sinergitas dalam pelaksanaannya.

Mari kita nantikan langkah-langkah strategis yang dilakukan dalam rangka mewujudkan masyarakat Jabar Istimewa: maju, sejahtera, adil, dan makmur.




Sumber:

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Penulis

PT MANDALA DIGITAL MEDIA
Jl. Waluh No 12, Malabar,
Kecamatan Lengkong,
Kota Bandung, Indonesia

bisniskoranmandala@gmail.com

Exit mobile version