Oleh: Widi Garibaldi
Siapa sesungguhnya pemilik pagar laut yang membentang dari desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang sepanjang 30,16 km itu ? Kendati telah mulai dibangun sejak bulan Juli tahun yang lalu, siapa pemiliknya, hingga kini masih mengundang tanda tanya besar. Bukan hanya bagi orang awam, ketidaktahuan siapa pemilik pagar laut yang meresahkan para nelayan itu, terkesan juga meliputi pejabat-pejabat pemerintah terkait.
Kabarnya, baik pemerintah pusat maupun daerah, tidak pernah mengeluarkan izin pembangunan pagar laut yang terbuat dari bambu setinggi 6 meter dan ditanam di dasar laut dengan pemberat karung pasir itu.
Artinya, pagar laut yang menutup akses para nelayan untuk menangkap ikan, sengaja dibangun secara liar tanpa sepengetahuan instansi terkait. Banyak kemungkinan mengapa hal ini sampai terjadi. Bahwa si Pemilik punya nyali besar sehingga berani menggelontorkan dana milyaran rupiah untuk suatu proyek tanpa izin pasti akan mengundang sangka bahwa ia adalah orang yang kebal hukum dan penuh kuasa.
Cabut-tidak.Cabut-tidak…
Ternyata, pembangunan pagar laut itu hingga kini belum juga jelas juntrungannya. Sampai sekarang, batang hidung pemiliknya, belum juga kelihatan. Mungkin untuk melindungi siapa pemilik sebenarnya, ber kembang informasi bahwa pembangunan pagar laut itu sebenarnya cukup mulia. Informasi itu datang dari Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang menyatakan bahwa pagar laut itu dibangun secara swadaya oleh masyarakat untuk mencegah abrasi, mengurangi dampak ombak serta untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat karena area yang dipagari dapat dijadikan tambak ikan.
Di balik informasi tadi, berkembang pula cerita bahwa proyek yang menelan biaya milyaran itu sesungguhnya dimiliki oleh seorang cukong property terkenal yang amat dekat dengan pejabat.Itulah sebabnya mengapa ia berani membangun proyek tanpa izin. Karena pemagaran laut itu merupakan awal dari proyek reklamasi, sang cukong menyadari akan sulit memperoleh izin manakala prosedur biasa yang ditempuh.
Mungkin dia berpikir, soal izin bisa belakangan diurus. Kalau nanti dipersoalkan, proyek yg sudah terlanjur berjalan tentu akan diperhitungkan. Skenario ini ternyata meleset. Proyek tanpa izin itu menjadi viral. Ramai menjadi pembicaraan dan pergunjingan. Baik di dunia maya maupun dunia nyata. Baru kemudian Pemerintah turun tangan.
Para petugas melakukan penyegelan. Pembangunan pagar laut tak lagi berlanjut. 600 anggota Angkatan Laut diperintahkan untuk mencabuti dengan susah payah pagar yang terdiri dari bambu. Sampai di sini, pencabutan yang kabarnya dapat perintah langsung dari Presiden itu terpaksa dihentikan karena tidak memperoleh restu dari Menteri Kelautan dan Perikanan yang merasa punya otoritas Sang Menteri beralasan bahwa pencabutan pagar akan menghilangkan bukti, manakala proyek tanpa izin itu akan diperkarakan.
Betapa runyamnya penyelesaian pagar laut itu, sekali gus merupakan gambaran dari keadaan hukum kita, dewasa ini.Penegakan hukum ( law enforcement) yang amat lemah merupakan fenomena dari lumpuhnya birokrasi karena aneka ragam penyakit yang menggerogoti para birokrat baik di pusat maupun daerah.
Tidak salah kalau begawan hukum kita, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa “kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman”. Ironisnya, para penegak hukum kita rela menyerahkan “kekuasaan” itu kepada Cukong, yang tega menzalimi nelayan yang berpenghasilan pas-pasan.