Selasa, 4 Februari 2025 18:09
Oleh: Widi Garibaldi
Ini adalah cerita kegiatan di suatu instansi pemerintah di Ibu Kota. Kendati banyak ruangan kosong di kantornya yang megah, setiap rapat selalu diadakan di  hotel. Walau banyak hotel pilihan di Jakarta, panitia rapat senantiasa memanfaatkan keberadaan hotel di luar Ibu Kota. Lokasinya yang terletak di wilayah Tangerang Selatan, membuat keberadaan hotel itu tak lebih dari “sejengkal”  tangan dari Jakarta.
Bukan tanpa alasan kalau panitia rapat menyelenggarakan kegiatan rutin itu di luar kota. Dengan rapat di luar kota, para peserta akan lebih “semangat” karena dapat membawa pulang uang SPJ di samping tidur dan makan enak di hotel. Akan halnya panitia, tentu tak perlu iri. Managemen hotel  sudah makfum apa yang harus disediakan.
Rapat di luar kota adalah salah satu trik menghambur hamburkan anggaran yang sudah terjadi sejak lama. Seribu satu acara bersifat serimonial selama ini berlangsung, menghabiskan anggaran tanpa faedah langsung bagi rakyat. Memang, anggarannya sudah tersedia. Jadi harus digunakan. Kalau tidak, bakal “hangus”. Begitu pikir penyelenggara.
Acara-acara seremonial ini, merupakan kegiatan-kegiatan rutin di banyak instansi pemerintah. Katakanlah, acara memperingati sesuatu, pertemuan atau rapat. Semuanya berlangsung, dibiayai rakyat. Kucuran keringat pembayar pajak digunakan untuk membiayai acara-acara yang seharusnya dapat dilakukan di kantor sendiri, yang tentunya minim biaya.
Menyadari bahwa acara-acara seremonial ini ternyata telah menghabiskan anggaran negara hingga lebih dari 20 triliun rupiah setahun, menyentak pemerintah untuk berhemat, memotong anggaran-anggaran yang hanya menghambur-hamburkan pajak rakyat yang dihimpun dengan susah payah.
Ketatkan ikat pinggang ?
Kendati tak populer, upaya penghematan ini harus dilakukan pemerintah mengingat program-program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, sedang APBN sungguh pas-pasan. Mengingat utang negeri ini sudah lebih dari 8.500 teriliun rupiah, maka  penghematan adalah satu-satunya jalan pintas yang dapat dilakukan. Adalah wajar apabila upaya penghematan itu diawali oleh para pejabat sebagai pemberi teladan. Beralasan manakala kemudian  muncul anjuran agar para pejabat menggunakan kendaraan umum saja dan tidak mempertontonkan “kehebatan”nya di jalan raya antara lain  menggunakan voorrijder  dilengkapi strobo serta sirene yang melengking memekakkan telinga. Masih ingat seorang pejabat yang menjadi utusan Presiden yang menggunakan Alphard bernomor RI 36 ? Kendaraan kosong yang dikawal voorrijder itu meliuk liuk di keramaian pengguna jalan, hanya untuk mengambil catatan  rapat.
Apa yang dipertontonkan oleh Pejabat RI 36 itu, hanyalah sebagian kecil dari ulah para pejabat yang dapat disaksikan oleh rakyat. Di balik itu, kecongkakan diiringi pemborosan uang rakyat setiap saat terjadi tanpa diketahui oleh mereka yang tekun membayar pajak. Itulah sebabnya, pemotongan anggaran, upaya penghematan harus terus dan terus dilakukan oleh pemerintah.
Kesederhanaan yang diperlihatkan oleh Paus Fransiskus dalam kunjungannnya ke Indonesia tahun yang lalu, seharusnya diteladani betapa seorang kepala negara sekalipun, tak membutuhkan pengawalan khusus dan hanya menggunakan Kijang Inova, bukan sedan Mercy 6000 cc yang kebal peluru.
Lain lagi dengan Mark Rutte,  ketika mengakhiri jabatannya sebagai Perdana Menteri Belanda. Tanpa upacara apapun, ia meninggalkan kantornya dengan menggunakan … sepeda. Kesederhanaan sejati, tanpa dibuat-buat….demi rakyat.



Sumber:

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Penulis
Exit mobile version