Oleh : Widi Garibaldi
Danantara itu bukan nama orang, tapi akronim dari Daya Anagata Nusantara. Gabungan suku kata Sangsekerta itu berarti kekuatan masa depan. Masa depan Nusantara. Tanah air kita.
Diberikan untuk menamai suatu badan pengelola yang menghimpun tak kurang dari US $ 900 miliar (setara hampir 15.000 triliun rupiah). Suatu jumlah yang luar biasa besarnya. Berasal dari seluruh kekayaan perusahaan milik negara, alias BUMN, seperti Pertamina, Telkom, PLN, BRI, BNI, Bank Mandiri dan Mind.ID (industri pertambangan Indonesia).
Jadi, perusahaan-perusahaan milik negara itu kini tak lagi berdiri sendiri-sendiri. Semuanya disatukan dalam satu wadah yang namanya Danantara. Kalau selama ini perusahaan-perusahaan milik negara tadi menyetorkan profit berupa deviden kepada negara dan dimasukkan dalam APBN, efeknya tak akan terlalu kelihatan karena pengelolaannya akan diatur sesuai dengan belanja keuangan negara.
Nah, dengan bersatu (holding) di bawah suatu lembaga baru yang bernama Danantara, perusahaan-perusahaan negara yang berdiri sendiri-sendiri itu akan menjelma menjadi perusahaan raksasa dengan modal lebih dari 4 kali lipat dibanding APBN 2025. Dengan kekuatan yang demikian besar, Danantara diharapkan dapat mengerjakan sendiri proyek-proyek raksasa tanpa harus mengundang kekuatan asing.
Wanti-wanti korupsi
Kalau pola menyatukan kekuatan di bawah satu wadah, seperti Danantara baru diresmikan Presiden tanggal 24 Februari 2025, di negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia, perusahaan sejenis sudah berkiprah sejak lama.
Apa yang terjadi di negeri jiran ini tentu saja menjadi contoh yang baik untuk Danantara yang hadir lebih setengah abad kemudian. Temasek, begitu nama perusahaan investasi milik Singapura, sudah berdiri sejak 1974, sejak Lee Kuan Yew memimpin negara pulau itu.
Bermodalkan profesionalisme yang tinggi, Temasek kini menjelma menjadi perusahaan investasi global. Tak terkecuali di Indonesia, kuku Temasek mencengkeram dengan kokoh.
Kalau di Singapura, Temasek merupakan super holding investasi yang sukses, tidak demikian halnya dengan 1MDB Malaysia (1Malaysia Devolopment Berhad) yang didirikan tahun 2009. Lembaga investasi yang dimiliki rakyat Malaysia ini ternyata kemudian jadi bancakan para pejabat. Dana 1MDB yang bernilai miliaran dollar AS disalahgunakan dengan cara dicuci antar lintas negara melalui transaksi-transaksi gelap.
Pejabat Top nomor 1 Malaysia sendiri terlibat di dalamnya. Hampir sepuluh tahun yang lalu, Najib Razak (PM Malaysia 2009-2018), demikian namanya, terbukti mentransfer sekitar US $ 700 juta ( 2,6 miliar Ringgit Malaysia) ke rekening pribadinya. Ia dan isterinya, Rosmah Mansor hidup bergelimang kemewahan.
Petugas kepolisian Malaysia harus menyediakan tenaga ekstra ketika menyita 6 rumah Najib serta menghitung lebih dari 500 tas tangan serta perhiasan gemerlapan milik isterinya. Apa yang terjadi dengan 1MDB menjadi contoh mengerikan betapa kekayaan negara menjadi bancakan para pejabat yang sulit ditelusuri karena dikendalikan oleh penguasa utama di negeri jiran itu.
Bagi Danantara, kini tersedia 2 pilihan gamblang. Kalau mau sukses, tirulah Temasek. Penuh disiplin, professional sejati. Sebaliknya, kalau nanti jadi bancakan, apa yang terjadi di negeri jiran Malaysia dengan 1MDBnya bakal terulang di Nusantara.
Kalau sampai hal ini yang terjadi, masa depan Nusantara benar-benar gelap. Gelap gulita !