Oleh: Widi Garibaldi
Tatkala Setya Novanto yang mantan Ketua DPR-RI pada tahun 2018 terpaksa menjadi penghuni hotel prodeo Sukamiskin selama 15 tahun karena terlibat kasus e-KTP, masyarakat menanggapinya dengan geleng-geleng kepala. Kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun dianggap tidak sepadan dengan hukuman yang dijatuhkan Hakim terhadap dirinya. Hukuman penjara 15 tahun untuk kerugian negara yang dianggap demikian besar, ditanggapi skeptis karena seperti diduga mantan ketua partai Golkar itu bakal menerima remisi berulang kali, di samping fasilitas khusus yang diterimanya dari petugas Lapas.
Dengan besaran nilai kerugian negara lebih dari 2 T itu, hukuman yang diperkirakan pantas diberikan kepada Setya Novanto adalah di dor, paling tidak seumur hidup. Nah, kini hampir 1 windu telah berlalu. Uang rakyat yang diganyang oleh ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu ternyata “belum apa-apa”. Ternyata para koruptor semakin lihai, semakin rakus. Peluang yang terbuka semakin lebar, dimungkinkan karena pengawasan yang semakin lemah. Tidak mengherankan kalau masyarakat kemudian menjadi permisif. Nerimo apa yang terjadi. Kendati hak merekalah sebenarnya yang digerogoti.
1 kuadriliun
Apa yang diembat Setya Novanto ternyata belum apa-apa. Masih “cetek”, kata orang Medan. Kasus tata kelola minyak mentah yang baru-baru ini berhasil dibongkar Kejaksaan Agung di Pertamina diperkirakan merugikan negara hingga Rp193,7 teriliun per tahun. Korupsi dengan cara membohongi rakyat itu telah berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2023. Jadi sudah 5 tahun. Silakan hitung. 5 x Rp193,7 T = Rp968,5 triliuan. Wah, hampir 1000 triliun. Hampir 1 kuadriliun, dengan 15 nol ! Ini, benar-benar merupakan mega skandal.
Yang baru terbongkar di Pertamina itu ternyata sudah sejak lama terjadi di sektor lain. Sebut saja misalnya, apa yang terbongkar di PT Timah yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp300 T Memang itu semua baru perkiraan pak Jaksa. Artinya. baru potential lost. Kerugian negara sementara, menurut terkaan Penyelidik atau Penyidik. Nah, nanti kalau sudah akan dihadapkan ke pengadilan, baru dihitung angka riilnya. Perhitungan itu akan dilakukan oleh para auditor BPK atau BPKP. Berapa besar kerugian negara yang riil tentu saja sejauh mana keberhasilan sang Penyelidik dan Penyidik mampu membawa bukti. Nah, disinilah integritas mereka diuji lagi. Manakala sang koruptor berhasil lagi memainkan perannya, jumlah kerugian keuangan negara itu tentu akan menciut.
Lalu hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada para penghisap darah rakyat ini ? Hukuman penjara ? Itu berarti mereka harus diberi makan minum oleh negara. Negara yang sudah dirugikan masih harus memberi makan-minum mereka. Sementara itu, para koruptor tadi akan semakin memadati Lapas yang sudah penuh sesak hingga Pemerintah terpaksa merencanakan amnesti terhadap 44.000 narapidana. Hukuman mati ? Mungkinkah dijatuhkan sebelum 2026 ? Pertanyaan ini wajar dilontarkan mengingat tidak kurang dari 300 narapidana mati hingga kini belum juga dieksekusi, alias di dor.Bagaimana kalau setelah tahun depan, setelah KUHP baru dinyatakan berlaku ?
Itu berarti mereka berhak atas tenggang waktu penangguhan selama 10 tahun. Kalau mereka berkelakuan baik, regu tembak tak perlu harus menarik pelatuk bedilnya