Oleh: Widi Garibaldi
Tatkala Jokowi baru menjabat Gubernur DKI Jakarta, lengkap dengan seragam putihnya, ia masuk dan menelusuri gorong-gorong di Ibu Kota RI itu untuk mencari penyebab mengapa Jakarta sampai digenangi banjir. Masyarakatpun terpana, menyaksikan seorang gubernur mau dan bersedia mengotori diri sendiri dengan seragam menterengnya, memasuki lorong-lorong gelap yang bau dan kotor. Di dalam gorong-gorong itu ia menemukan antara lain ratusan meter kabel listrik yang sengaja disembunyikan oleh sang pencuri.
Bagi Jokowi sendiri, penemuan kabel listrik curian itu tentu saja tidak terlalu penting. Kesan di mata masyarakat bahwa ada seorang pemimpin yang rela mengotori tangan sendiri untuk menangani secara langsung kepentingan rakyat, itulah yang dicari. Memang, apa yang dicari telah diperolehnya. Terlepas dari penilaian akhir ketika ia telah menjadi Presiden RI ke-7, masyarakat menganggapnya sebagai pemimpin yang “merakyat”. Bukan pemimpin yang hanya bercokol di belakang meja kerja, menanti laporan bawahan.
Dedi Mulyadi: Modifikasi Cuaca 10 Hari untuk Kurangi Risiko Banjir
Ketika menyaksikan Dedi Mulyadi yang kini jadi Gubernur Jawa Barat, menginstruksikan pembongkaran tempat rekreasi Hibisc Fantasy di Puncak Bogor disusul aksinya menanam sendiri pohon mengawali rencana penanaman 50.000 pohon dalam rangka penghijauan kembali kawasan yang ditengarai sebagai penyebab banjir di kawasan Jabodetabek itu, masyarakat juga mendapat kesan telah memperoleh pemimpin tangguh dan berani, yang tidak bekerja hanya dari belakang meja kerja. Kesan itu semakin nyata ketika penduduk menyaksikan Gubernur Jawa Barat itu “daekan” (suka rela) ikut membersihkan sampah yang menyumbat aliran sungai Cipabaluan di daerah Pelabuhanratu Sukabumi. Mereka yang menyaksikan pak Gubernur terjun langsung ke sungai, berteriak teriak “ Hidup Bapak Aing…! (Hidup Bapakku…!).
Memang sudah lama Dedi Mulyadi memanfaatkan media sosial untuk mempublikasikan kegiatan sosialnya. Nampaknya ia tidak mementingkan media massa mainstream. Aksi-aksi sosialnya, apalagi ketika menghadapi pemilihan Gubernur yang lalu, mendapat sambutan langsung dan tepat sasaran sehingga ia memperoleh suara lebih dari 60 %.
Tataran manajerial
Ternyata, apa yang diperlihatkan oleh Dedi Mulyadi melalui media sosial itu tidak seutuhnya diamini masyarakat. Sebagai seorang Gubernur, ada yang menganggapnya “tidak pantas” terjun menangani langsung setiap masalah yang dihadapi. Katakanlah misalnya masalah kebersihan atau penegakan peraturan. Bukankah sudah ada petugas kebersihan ? Sudah ada para penegak hukum ?
Walaupun hasilnya tidak akan dapat dinikmati dalam waktu sekejap, tetapi masalah pendidikan adalah masalah pokok yang harus diatasi dengan sungguh-sungguh. Mengapa sungai penuh dengan sampah ? Karena penduduk menganggapnya sebagai tempat pembuangan sampah. Karena itu sejak dini, anak-anak kita harus dididik untuk membuang sampah pada tempatnya, karena kebersihan itu adalah pangkal kesehatan.Contohlah penduduk Singapura yang tidak akan meludah atau membuang punting rokok sembarangan. Contohlah orang Jepang,yang akan membawa pulang sampah yang mereka tinggalkan, dimanapun mereka berada. Mengapa demikian ? Karena sudah terbiasa sejak kecil.
Begitu pula dengan penegakan hukum. Petugas tak akan memberi izin usaha atau bangunan karena adanya kawasan hutan lindung, seperti yang diberikan oleh Bupati kepada PT Jaswita anak Perusahaan BUMD Jawa Barat yang bekerjasama dengan swasta untuk membangun Hibisc Fantasy di kawasan Puncak. Ternyata arena wisata itu terpaksa harus dibongkar kendati telah menghabiskan biaya hingga Rp.40 M.
Sayang sekali, kondisi idaman ini hanya akan terwujud berkat pendidikan, yang menjadi salah satu tugas utama Pak Gubernur, agar terlaksana dengan baik