Oleh: Daddy Rohanady

Penulis Adalah Anggota Komisi IV DPRD Jawa Barat

 

Ketahanan pangan kembali menjadi isu strategis dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2024, ia menekankan pentingnya swasembada pangan dan energi sebagai fondasi ketahanan nasional. Namun, apakah ambisi besar ini akan berujung pada realisasi atau sekadar wacana yang tidak membumi?

Dilema Ketahanan Pangan: Lahan, Teknologi, dan Kolaborasi

Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah semakin masifnya alih fungsi lahan pertanian. Ironisnya, di tengah kebutuhan mencetak sawah baru, lahan pertanian justru terus berkurang akibat ekspansi industri dan pemukiman. Situasi ini diperparah oleh ancaman perubahan iklim yang memengaruhi produktivitas pertanian.

Kementerian Pertanian (Kementan) mencoba menjawab tantangan ini dengan mendorong penggunaan teknologi smart farming. Inovasi pertanian berbasis digital ini diyakini mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Namun, implementasi teknologi tidak cukup tanpa adanya ekosistem yang mendukung, seperti akses permodalan bagi petani kecil dan jaminan pasar yang stabil.

Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil juga menjadi kunci dalam mengokohkan ketahanan pangan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sinergi ini belum berjalan optimal. Banyak kebijakan masih bersifat top-down tanpa mempertimbangkan masukan dari petani dan pelaku usaha di sektor pertanian.

Food Estate: Solusi atau Kontroversi?

Program food estate yang digagas Kementerian Pertahanan saat Prabowo masih menjabat sebagai Menhan menjadi sorotan. Proyek ini digadang-gadang sebagai solusi jangka panjang dalam meningkatkan produksi pangan. Namun, banyak kritik bermunculan terkait efektivitas dan dampak lingkungannya.

Anies Baswedan, dalam kapasitasnya sebagai tokoh oposisi, menilai bahwa proyek food estate lebih menguntungkan kelompok tertentu dibandingkan petani kecil. Ia menyarankan agar anggaran proyek ini dialihkan ke subsidi pupuk dan solar, yang lebih langsung dirasakan oleh petani.

Hasto Kristiyanto dari PDI Perjuangan juga mengkritik program ini. Menurutnya, proyek food estate tidak berjalan sesuai harapan dan menimbulkan permasalahan lingkungan serta sosial.

Aktivis lingkungan menyoroti ancaman deforestasi akibat pembukaan lahan besar-besaran. Mereka mengingatkan bahwa proyek ini berisiko merusak ekosistem hutan dan habitat satwa liar. Jika tidak dirancang dengan baik, proyek food estate berpotensi lebih merugikan daripada menguntungkan.

FAST: Harapan Baru atau Sekadar Gimik?

Pemerintah juga meluncurkan program FAST (Food and Agriculture Sustainability Transformation) untuk meningkatkan ketahanan pangan. Program ini bertujuan memberikan akses teknologi dan pembiayaan bagi petani kecil.

Namun, seperti kebijakan lainnya, efektivitas program ini masih perlu diuji. Apakah FAST akan benar-benar membantu petani atau hanya menjadi proyek ambisius tanpa implementasi nyata?

Ketahanan Pangan: Butuh Komitmen Nyata

Ambisi ketahanan pangan yang dicanangkan Presiden Prabowo harus dibarengi dengan kebijakan yang berbasis realitas di lapangan. Ketahanan pangan bukan sekadar proyek besar dengan anggaran fantastis, melainkan upaya sistematis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Tanpa strategi yang matang, kebijakan yang berorientasi pada kepentingan petani, serta pengawasan ketat terhadap dampak lingkungan, ketahanan pangan nasional berisiko hanya menjadi omon-omon belaka.




Sumber:

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Penulis
Exit mobile version