Oleh:
Widi Garibaldi
1 Syawal 1446 H, Senin 31 Maret 2025, kita merayakan hari kemenangan. Suatu kemenangan yang dicapai dengan susah payah. Menahan haus dan dahaga selama 30 hari penuh. Bukan hanya perut yang dibiarkan keroncongan. Di balik itu, mata tak diperkenankan melihat hal yang tak patut. Begitu pula dengan telinga. Dicegah untuk mendengarkan kabar buruk. Katakanlah, kabar bohong,hoaks, hasutan dan semacamnya.
Di balik itu semua,hati-pun harus ikut puasa. Berperang melawan hawa nafsu. Melawan ajakan setan yang menggoda, yang melontarkan bujuk rayu untuk melakukan perbuatan durjana. Memang, dengan berpuasa sebulan penuh, kita telah memenangi suatu peperangan dahsyat. Bersifat total, dunia dan akhirat. Itulah makna Iedul Fitri yang sesungguhnya. Keluar dari kancah pertempuran, dengan kepala tegak. Kita telah menaklukkan musuh-musuh kita yang hendak mencengkram dengan berbagai tipu daya. Kita telah menaklukkan musuh yang selama ini mengendalikan hati sanubari kita sendiri.
Iedul Fitri sesungguhnya memang merupakan simbol kemenangan melawan hawa nafsu yang bertengger di dalam hati sanubari. Puasa, pada hakekatnya adalah pertempuran melawan hawa nafsu itu. Musuh kita adalah diri sendiri. Peluru yang berdesingan di medan perang mungkin dapat dihindari, tetapi menghadapi musuh yang satu ini, yang telah menguasai hati sanubari, sulit untuk dielakkan.
Selamat para Pemimpin
Selesai sholat Ied di masjid Istiqlal, Presiden Prabowo, langsung mengadakan Open House di Istana Merdeka. Gelar “Open House” yang di Indonesiakan menjadi “Gelar Griya” itu, bukan hanya dihadiri oleh masyarakat yang hendak menyalami Presidennya , tetapi juga para pemimpin bangsa, terutama para Menteri dan Wakilnya yang tentu saja terpanggil untuk “setor muka”. Bagi mereka, memenuhi absensi Presiden merupakan suatu kewajiban yang tidak ada hubungannya dengan tekad untuk memenangi peperangan melawan hawa nafsu, musuh yang mencengkeram hati sanubari.
Korupsi jalan terus, kendati Presiden melalui pidato-pidatonya yang bombastis mengancam akan membangun penjara khusus bagi para koruptor di suatu pulau terpencil. Karena itu, peringkat Indonesia sulit beranjak dari kedudukan nomor 99, negara terkorup di dunia, dibanding 180 negara yang di survey. Itu berarti jauh di bawah negara Timor Leste yang menduduki peringkat 73 dan hanya mampu menyamai Ethiopia, negara perompak lanun yang miskin di Afrika. Sungguh memalukan.Tidaklah mengherankan manakala upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita bangsa masih “jauh panggang dari api”. Mengapa demikian ? karena para pemimpin negara ini tidak mampu melawan godaan hati sanubarinya sendiri, untuk korupsi !
Tidak berlebihan juga kalau almarhum Bing Slamet dalam lagu kocak karangan Ismail Marzuki mengenai hari raya Ied itu melontarkan sindiran : Selamat para Pemimpin, rakyatnya makmur terjamiiinnn…”.