Oleh: Widi Garibaldi
Ini bukanlah cerita mengenai buku “Habis gelap,terbitlah terang”, kumpulan surat-surat R.A.Kartini kepada teman teman Belandanya yang diterbitkan oleh Meneer J.H.Abendanon dengan judul “Door duisternis tot licht” pada tahun 1911.
“Kegelapan” yang menghantui perempuan-perempuan Jawa akibat feodalisme seperti dituturkan Kartini dalam surat-suratnya itu, kini sedang dialami oleh bangsa ini.Tentu saja dalam konteks berbeda.
Serangan Tarif Trump Mengguncang Ekspor, Rupiah dan SBN Terancam
Tarif resiprokal (respons) Amerika Serikat,yakni tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump hingga 32 % dari setiap barang export RI telah menyentak kehidupan kita yang selama ini terlena. Ekspor bahan-bahan mentah ke AS dengan tarif yang tadinya rendah, telah meninabobokan bangsa ini, sehingga lupa untuk mengekspor barang jadi atau setengah jadi. Minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang kita ekspor, berkat tarif rendah, merajai pasar. Begitu pula dengan kopi. Juga karet. Di export dalam bentuk crumb rubber (remah). Kita kewalahan memenuhi permintaan pasar, sehingga tak terpikirkan bahwa dalam bentuk setengah jadi apalagi dalam bentuk barang jadi, bahan-bahan mentah itu akan meningkat berlipat ganda nilai jualnya.
Manakala tarip resiprokal itu diberlakukan Presiden Trump 9 April ini, kita tersentak memikirkan akibatnya. Pasar pasti menyempit akibat meningkatnya harga. Mudah dibayangkan, nilai rupiah akan merosot akibat devisa yang menyusut. Pasar domestik yang amat sensitif segera mencium gelagat tersebut. Tidak mengherankan kalau kurs rupiah, untuk pertama kalinya, terjerembab tembus Rp17.200 per dollar AS.
Investor Hengkang
Sebelumnya, para investor yang penciumannya begitu tajam sudah memutuskan untuk angkat kaki dari negeri ini. Akibatnya, ribuan tenaga kerja harus mengalami PHK. Mereka melihat, di negeri lain walaupun dikenal sebagai negara komunis seperti Vietnam, suasana untuk berusaha jauh lebih mudah dan menyenangkan. Manakala mereka membutuhkan lahan untuk mendirikan pabrik, disediakan oleh pemerintah tanpa harus berhubungan dengan calo tanah. Butuh izin usaha dan semacamnya ? Dalam hitungan jam sudah ada di tangan. Bagaimana dengan pekerja ? Tinggal pilih. Nah, kalau produksi sudah jalan, dijamin tak akan ada preman yang coba-coba mau memeras. Dengan angkuh berteriak sebagai jagoan.
Memang, kendati sudah hampir 80 tahun merdeka, kita masih saja menjadi negara yang konsumtif. Apa yang dinamakan hilirisasi, baru sampai retorika. Dalam kenyataannya, kita masih tetap menjadi pengekspor bahan mentah dan pengimpor segala macam kebutuhan. Tak terkecuali untuk kebutuhan perut. Walau laut terbentang luas, sejauh mata memandang, kita masih mengimpor garam. Kendati “tongkat” sekalipun ditanam di halaman bakal tumbuh, kita lebih senang merasakan pedasnya cabe dari luar negeri. Jangan lagi yang namanya gula atau beras. Ribuan ton, walau jutaan hektar tanah dibiarkan ditumbuhi ilalang.
Betapa konsumtifnya negara ini, dapat disaksikan setiap hari di jalan raya. Merek kendaraan roda 4 dari belahan dunia manapun ada di sini. Yang berasal dari Jerman atau Jepang hingga Cina. Yang pasti “made in Indonesia” tak akan dapat kita temukan. Maung ? Betul buatan Pindad. Tapi komponennya berasal dari Jerman dan Korea Selatan.
Semoga, habis gelap terbitlah….terang