Oleh:
Widi Garibaldi
“Kalau anda hanya ingin menang,jangan gunakan jasa saya. Kecuali anda juga ingin mencari kebenaran”, begitu kira-kira pesan Yap Thiam Hien kepada calon kliennya. Pak Yap, begitu ia sering disapa, adalah seorang pengacara ternama kelahiran Aceh (1913-1989). Karena sering memperjuangkan si lemah dan si miskin, ia juga dikenal sebagai pejuang hak-hak asasi menusia yang tangguh. Namanya kemudian dijadikan penghargaan (Yap Thiam Hien Award) bagi siapa saja yang dinilai berjasa dalam upaya penegakan HAM di Indonesia.
Itu dulu. Sekarang tentu sulit mencari jejak Yap Thiam Hien di antara ribuan Advokat dan Pengacara yang ada di Indonesia. Jangan kaget kalau seorang Pengacara memasang tarif miliaran rupiah dengan jaminan memenangi suatu perkara. Nah, kalau sudah menang, sang Pengacara kebagian lagi apa yang dinamakan “success fee”.
Karena itu, seorang Pengacara tak perlu bertitel “Mester in de rechten van Leiden” seperti Yap Thiam Hien. Sang Pengacara tak perlu “adu otak” dengan Jaksa atau hakim. Ia pasti akan memenangi perkara manakala berhasil mendekati majelis hakim. Caranya? Tentu saja dengan lembaran-lembaran bergambar proklamator RI. Karena akan berabe membawanya, akibat kurs yang rendah. Rupiah biasanya ditukar dulu dengan lembaran-lembaran bergambar Benyamin Franklin. Itulah dollar AS. Atau dollar negara tetangga, Singapura yang kini kursnya sudah mendekati 13.000 rupiah. Bayangkan ketika pemerintah Singapura masih mencetak $ SGD bernilai 10.000. Mengantongi 10 lembar saja $ SGD, itu berarti si penerima sudah menerima lebih dari 1 miliar rupiah. Untunglah, pecahan 10.000 $ itu sudah sulit ditemukan karena pencetakannya sudah dihentikan. Walau demikian, suap menyuap di negeri tercinta ini tidak berhenti dengan sendirinya, kalau tidak hendak dikatakan semakin menjadi-jadi. Terakhir, beberapa hakim PN Jakarta Selatan ditangkap. Termasuk Ketua Pengadilannya. Mereka terlibat dalam kasus penerimaan suap senilai Rp 60 miliar dari korporasi dalam kasus export minyak kelapa sawit (CPO).
Tidak mengherankan kalau dalam suatu kesempatan, KARO Hukum dan Humas Mahkamah Agung mewakili Lembaga tertinggi di bidang yudisial itu minta perhatian para Advokat agar meningkatkan pengetahuan dan integritasnya, manakala ingin memenangi suatu perkara. Tegasnya, pak KARO ingin mengatakan bahwa untuk memenangi suatu perkara hentikan kebiasaan selama ini. Menggunakan fulus! Soalnya, hakim itu juga manusia. Matanya akan menjadi “hijau” ketika dijanjikan dan akan menerima lembaran-lembaran dollar yang bergepok-gepok. Sebagai manusia, pak Hakim juga tentu ingin menikmati kehidupan duniawi, tidak kadung sudah memperoleh sapaan “Yang Mulia” bahkan “Wakil Tuhan di Dunia”.
Keinginan duniawi itu, bagi para Hakim mudah diwujudkan. Kalau mau mereka tinggal mengorbankan kebenaran sehingga “keadilan” yang menjadi dambaan bagi si Pencari akan berubah menjadi fatamorgana belaka. Caranya ? Putusan disunglap menjadi “perbuatan bukan merupakan suatu tindak pidana” atau NO karena pak Hakim menyatakan bahwa alasan gugatan mengandung cacat formil. Salah atau benar, bukan urusan pak Hakim, karena putusan mereka senantiasa harus dianggap benar. Karena itu, putusan yang salah atau berbau suap itu menurut ketentuan harus dianggap benar dan dihormati.
Itulah sebabnya, tidak cukup hanya himbauan kepada para Advokat agar mereka tidak lagi mengiming-imingi para Hakim untuk memenangi suatu perkara. Masalahnya, sebagaimana dikatakan oleh Sebastian Pompe, dunia yudikatif kita yang tergambar dari Mahkamah Agung sebagai Lembaga yudikatif tertinggi kini sedang mengalami “keruntuhan diam-diam”.
Maklum, Hakim itu manusia juga. Bukan Binatang. Kalau Binatang tentu tak doyan dengan lembaran rupiah apalagi dollar !