Oleh:
Holil Aksan Umarzen
Pinisepuh MMS (Majelis Musyawarah Sunda) dan Ketum PM GATRA (Paguyuban Masyarakat Garut Utara)
Nama RA Kartini kerap digaungkan tiap 21 April sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia. Namun, jauh sebelum Kartini menulis surat-suratnya yang terkenal itu, seorang perempuan bangsawan Sunda di Garut telah menanam benih perubahan lewat pendidikan. Ia adalah Rd. Ayu Lasminingrat—seorang intelektual, pendidik, dan reformis sosial yang perannya nyaris tenggelam dalam narasi sejarah nasional.
Rd. Lasminingrat bukan sekadar perempuan bangsawan yang hidup di masa kolonial. Ia adalah pemikir, penulis, penggerak, dan pendidik yang membuka jalan bagi pendidikan perempuan di tanah Sunda pada penghujung abad ke-19. Melalui karya dan tindakannya, ia membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi subjek sejarah, bukan hanya objek.
Saatnya Mochtar Kusumaatmadja Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Membangun Sekolah, Menulis Buku, Mencerdaskan Bangsa
Dalam berbagai literatur sejarah lokal dan koleksi arsip daerah, nama Rd. Lasminingrat dikenal sebagai pendiri sekolah perempuan pertama di Garut. Sekolah itu menjadi ruang penting bagi anak-anak perempuan untuk mengenal baca-tulis, belajar agama, keterampilan rumah tangga, dan pengetahuan umum.
Karya monumentalnya, Warnasari, ditulis dalam bahasa Sunda dan digunakan sebagai bahan ajar. Buku ini menjadi bukti kemampuannya dalam dunia literasi, sekaligus wujud kepeduliannya terhadap nasib pendidikan perempuan.
Ia menguasai empat bahasa—Sunda, Melayu, Belanda, dan Arab—yang membuka cakrawala berpikirnya dan memperkaya tulisan-tulisannya. Dengan bekal itu, ia berdiri sejajar, bahkan melampaui beberapa tokoh perempuan lain yang lebih dulu mendapatkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional.
Lebih Dulu dari Kartini, Lebih Nyata dari Simbol
Sejarawan Deddy Effendie dalam jurnal Sejarah dan Pendidikan Indonesia (2023) menegaskan bahwa Lasminingrat telah aktif mendidik dan menulis sejak sebelum Kartini dikenal. Ia bukan sekadar simbol emansipasi, melainkan pelaku perubahan nyata. Namun, sayangnya, kontribusinya belum banyak mendapat tempat dalam sejarah nasional.
Jika Kartini dikenal lewat surat-surat, Lasminingrat dikenal melalui institusi pendidikan yang ia bangun dan karya ilmiah yang ia tulis. Jika Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri di Bandung pada 1904, maka Lasminingrat telah melakukannya lebih awal di Garut.
Darah Bangsawan, Jiwa Kerakyatan
Lahir dari keluarga bangsawan Sunda di Limbangan dan Sukapura, Rd. Lasminingrat tidak larut dalam kenyamanan status sosialnya. Ia justru menggunakan hak istimewanya untuk menyebarkan ilmu dan memberdayakan perempuan. Didikan ayahnya yang juga seorang intelektual membuka jalan baginya untuk berpikir melampaui batas-batas zamannya.
Tak hanya mendirikan sekolah, ia juga aktif menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh kolonial dan adat, menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Kemampuan sosial dan emosionalnya membuatnya dihormati di berbagai kalangan.
Mengapa Belum Diakui Sebagai Pahlawan Nasional?
Pertanyaan ini menjadi refleksi bersama. Lasminingrat memiliki semua kriteria sebagai Pahlawan Nasional: ketokohan, pengaruh, kontribusi nyata, serta pengakuan publik yang terus tumbuh. Namun, ketidakhadiran namanya dalam daftar pahlawan menunjukkan masih adanya ketimpangan narasi sejarah antara pusat dan daerah.
Pengakuan terhadap Lasminingrat bukan hanya soal nama dan gelar. Lebih dari itu, ia adalah upaya meluruskan sejarah, memperkaya narasi perjuangan perempuan Indonesia, dan menegaskan bahwa perubahan tidak selalu lahir dari pusat, tapi bisa tumbuh dari daerah dengan semangat yang sama kuatnya.
Saatnya Memberi Pengakuan
Perjalanan panjang Rd. Ayu Lasminingrat dalam membangun pendidikan dan mengangkat derajat perempuan Indonesia sudah sepatutnya dihargai. Ia bukan hanya tokoh Garut, tapi aset bangsa. Sudah waktunya negara memberi pengakuan yang setara bagi tokoh sebesar dirinya. Dan sudah saatnya kita semua, sebagai bangsa, mengingat kembali nama yang pernah berjasa dalam senyap.
Karya dan Referensi
Warnasari (Jilid 1 & 2) – Buku ajar pendidikan perempuan di Garut.
Effendie, D. (2023). Peran Rd. Ayu Lasminingrat dalam Pembangunan Pendidikan di Garut. Jurnal Sejarah dan Pendidikan Indonesia, Vol. 15, No. 2.
Koleksi arsip daerah Garut dan Perpustakaan Nasional RI.
Tempo.co. (2018). “Cut Nyak Dien: Perempuan Pejuang Aceh”.