Oleh:
Widi Garibaldi
Burung Tempua, atau lebih dikenal sebagai burung Manyar sungguh ahli menganyam sarang.Helai demi helai daun dirajut oleh paruh Manyar yang mungil hingga menjadi sarang berbentuk bulat lonjong berpintu bundar nan indah. Keahlian itu diperolehnya, turun temurun hingga menjadi instink setiap burung Manyar. “Aneh”nya lagi, sarang itu tak akan kita temukan di pohon yang tinggi. Justru di dahan-dahan pohon rendah, beberapa meter di atas aliran sungai yang penuh dengan buaya. Ke”aneh”an itu kemudian melahirkan suatu pepatah: “kalau tak mengada-ada takkan Tempua bersarang rendah”. Artinya, kalau tidak karena maksud tersembunyi, tidak mungkin seseorang bertindak luar biasa.
Mandala Talk: Benarkah Akun Fufufafa Milik Gibran? Ini Pernyataan Terbaru Menkominfo
Baru-baru ini, 103 purnawirawan Jenderal yang tergabung dalam Forum Purnawirawan TNI mendesak agar lembaga tinggi negara MPR mencopot putera sulung Presiden ke 7 RI Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden negara ini. Para purnawirawan, tokoh bangsa itu tentu sudah makfum bahwa ada ketentuan baku untuk memakzulkan Presiden atau Wakilnya itu. Tak mungkin ke-103 tokoh dengan 1 hingga 4 bintang di pundak itu tak menyadari bahwa Pasal 7 A Konstitusi kita mengharuskan adanya syarat-syarat berat untuk dapat memakzulkan seorang Presiden atau Wakilnya. Disebutkan bahwa impeachment atau pemakzulan, baru dapat dilakukan manakala terbukti bahwa sang Wapres telah melakukan perbuatan melawan hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya dan perbuatan tercela atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden. Tuduhan-tuduhan terhadap Wapres ini harus dibuktikan melalui jalan yang amat panjang. Pertama-tama DPR mengajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus apakah tuduhan-tuduhan tadi terbukti atau tidak. Bagaimana cara MK melaksanakan tugas itu, hingga kini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun. Pengajuan DPR itu sendiri harus didukung sekurang-kurangnya oleh 2/3 jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna. Artinya, harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang kini jumlahnya tidak kurang dari 575 orang. Seandainya semua terpenuhi, DPR meneruskan pemakzulan Wapres itu ke MPR. Lembaga tinggi negara ini akan menyelenggarakan sidang paripurna yang harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota (575 DPR + 136 DPD).
Lalu, mengapa ke-103 purnawirawan jenderal tadi tetap sepakat untuk menggusur sang Wapres yang anak sulung Presiden RI ke-7 ? Rupanya ke-103 purnawirawan jenderal itu tak dapat membohongi hati nuraninya sendiri. Mereka melihat bahwa terpilihnya Gibran adalah hasil penukangan Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Itu semua dimungkinkan karena ulah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang adik ipar Jokowi dan paman Gibran yang kini jadi Wakil Presiden RI.
Lolos dari jerat undang-undang, Jokowi yang tadinya hanya dikenal sebagai pengusaha mebel itu, melihat peluang menjadikan anaknya sebagai orang nomor 2 di negara ini. Ia “meng-arbit” anaknya menjadi pendamping Prabowo sebagai Capres. Prabowo sendiri mengakui bahwa andil Jokowi sungguh amat besar sehingga dia terpilih menjadi Presiden RI ke-8.
Bagi Jokowi sendiri, “pucuk dicinta ulam tiba”. Prabowo berutang budi kepadanya, sekaligus anaknya yang baru berusia dan berpengalaman “seumur jagung” dapat menjadi Wakil Presiden dari suatu negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa.
Memang, sama dengan burung Manyar atau Tempua, “tukang kayu” itu adalah seorang ahli strategi ulung. Sayang bukan untuk bangsa dan negara. Tetapi untuk keluarga dan keturunannya