Hamzah Ibrahim dan istrinya, Endah Suhaedah.
Oleh Dedi Asikin
Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Seorang wartawan bernama Hamzah Ibrahim telah melalui lintasan zaman. Dia ada pada zaman pemerintahan Orde Lama (1963). Dia juga hadir pada masa pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, dan menjadi orang yang meskipun sebentar, eksis pasca reformasi.
Dia itu teman, sahabat, satu profesi. Bahkan beberapa tahun bekerja bareng di tempat yang sama, Harian Mandala.
Di kompleks wartawan Bale Endah, rumah kami di Jalan Sipatahunan berseberangan.Rumah dia No. 36 saya No 37.
Isteri saya, Ai Rukmini dan isteri dia (yang wartawati) Endah Suhaedah bersahabat. Kadang mereka saling buka isi dan rahasia dapur, terutama ketika keadaan sedang susah beras dan harus antri.
Umur saya dengan Hamzah juga cuma geseh 1 bulan. Dia lahir di Gayo (sering juga disebut tanah di atas awan), Aceh pada tanggal 12 Juni 1939. Sementara saya dibrojolkan pada 9 Juli tahun yang sama, 1939, di pinggir lautan Hindia (Tasikmalaya Selatan).
Orang Turki itu sering pula dijuluki budah laut. Kami nyaman saja dipanggil begitu, kerena itu berarti gagah perkasa. Lalaki langit, lalanang jagat.
Jikalau sejak kecil kami bertetangga tentu saja kami teman sepermainan. Bareng main kelereng, gobag sodor atau main layang-layang.
Taqdirullah, kami baru dipertemukan saat sudah sama sama dewasa. Dia sudah berkeluarga dengan empat orang anak sementara saya punya lima orang cucu mertua.
Kebetulan pula kami punya pekerjaan yang sama, (dulu disebut) kuli tinta alias Wartawan. Bahasa kerennya jurnalis.
Dalam buku ‘Bila Maut Datang Menjemput, Antarkan Aku Sebagai Wartawan’ terbitan Majelis Wartawan Senior (Mawas), Hamzah menceritakan secara detail perjalanan hidupnya.
Buku itu, Alhamdulillah, saya ikut menyiapkan. Ketua Mawas, Yusuf Supardi menunjuk saya menjadi ketua tim penyusun buku itu. Buku itu berisi profil sekitar 40 wartawan senior di Jawa Barat terbit tahun 2012, termasuk Hamzah Ibrahim dan istrinya Endah Suhaedah.
Hamzah muda lepas SMA tahun 1961, menyebrang ke pulau Jawa. Awalnya dia tinggal sementara di Jakarta, menumpang di rumah pamannya Hasan Gayo.
Satu petang, tatkala Hamzah baru sembuh dari sakit dan dirawat RS Cipto Mangunkusumo, pamannya secara tiba tiba bertanya, “sekarang kau mau apa? sekolah atau bekerja? Kalau mau sekolah masuklah PTIK, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Besok ada pembukaan. Kalau mau kerja jadi wartawan saja”.
Pertanyaan yang tiba tiba itu, terasa bagai bunyi geledeg di hari nan benderang. Hamzah bingung dengan pilihannya. Lagipula pamannya tak memberi ruang waktu yang cukup untuk anak rencong itu berfikir.
“Besok kamu harus beri jawaban,” pungkas sang paman sambil masuk kamar.
Hampir semalaman, otak dan akal sehat anak muda itu berputar-putar, sampai pusing sembilan putaran.
Jadi polisi? Rasanya tak mampu dan tak punya bakat. Kalau jadi wartawan, jujur mimpipun sebelumnya tidak pernah. Dalam otaknya yang tak sebesar gentong air di dapur tantenya, wartawan ( waktu itu) harus bisa menulis cepat (steno). Selain itu, kerja wartawan itu mirip mirip ditektif.
Pokoknya malam itu, Hamzah nyaris tak bisa memejamkan kedua bola matanya, melotot terus bagai telor Brebes. Namun keesekan harinya, amang bertanya lagi. Mulut Hamzah tiba-tiba saja menjawab cepat: mau kerja.
“Kalau begitu kamu besok berangkatlah ke Bandung, bawa surat ke pak AK Yacobi,” kata sang paman. Sang paman Hasan Gayo juga pernah jadi wartawan di kantor berita Antara bersama sahabatnya, Adam Malik dan kenal baik dengan AK Yacobi yang waktu itu jadi Pemimpin Redaksi Harian Karya di Bandung.
Keesekoan harinya, terpaksalah jagoan ‘tanah di atas awan’ itu berangkat naik kereta api ke Bandung, nama kota yang hanya pernah pernah ia dengar.
Rupanya, ada sedikit perbedaan tentang motivasi jadi wartawan antara Hamzah dengan saya. Dia itu ibarat peserta terjun yang ngeri-ngeri sedap mau loncat dari pesawat.
Dia tak sadar, ketika ditendang pelatih, tubuhnya tiba-tiba melayang di udara. Namun, setelah di udara dan parasut berkembang sempurna, ternyata rudapaksa itu nikmat juga.
Jadi wartawan, bagi Hamzah, awalnya adalah sebuah keterpaksaan, sebuah sergapan. Kemudian, kepalang basah nyebur sekalian, jadilah dia wartawan profesional yang melintasi tiga dimensi.
Kalau saya, jadi wartawan itu cita-cita sejak kecil. Waktu kelas 6 SR ditanya kakek dari ibu bernama Warta Diharja, “mau jadi apa kamu nanti?”. Jawaban saya spontan, “jadi wartawan ki”.
Saya memang senang membaca kroan yang beredar di Kota Tasikmalaya. Waktu di SMP (1956-1959), saya sering membuat puisi dan cerpen. Tulisan itu suka dimuat di majalah Priangan pimpinan Harisudin AM yang terbit di Tasikmalaya.
Saya juga jadi anggota Kuntum Mekar, organisasi kumpulan penulis muda di Pikiran Rakyat. Suka juga menulis carpon di majalah Mangle. Alhamdulillah, saya menjadi wartawan sungguhan mulai tahun 1967.
Pertama saya jadi wartawan Harian Kami, koran perjuangan yang diterbitkan para mahasiswa di Jakarta. Zulharman merupakan pemimpin redaksi. Kemudian tahun 1970, saya jadi wartawan Harian Mingguan Mandala selama 17 tahun lamanya.
Kembali ke cerita shohib saya Hamzah, ketika membaca surat sang paman, AK Yacobi sambil menatap pemuda rencong itu, berkata “jadi wartawan itu berat, karena tak bisa kaya.
Kekayaan wartawan itu pengetahuan dan pengalaman. Wartawan itu selain kerja berat, juga harus pintar, minimal harus banyak membaca. Kalau kamu merasa tak sanggup, lebih baik meneruskan sekolah atau cari pekerjaan lain yang sesuai dengan kecakapanmu.
Namun Hamzah sudah kepalang tanggung, sudah nawaetu dan bismillah.
Apaboleh buat, Yacobi akhirnya menerima Hamzah. Akan tetapi tidak ujug ujug jadi wartawan, langsung ke lapangan. Hamzah harus bekerja dulu sebagai korektor.
Banyak wartawan sukses, awalnya menjadi korektor. Tugas itu dalam banyak hal bisa dijadikan kawah candradimuka. Setiap hari membaca puluhan lembar berita sehingga otak terasah bagaimana membuat berita.
Tiga bulan anak rencong itu menjadi korektor, suatu hari AK Yacobi memanggilnya. Ternyata memberi tahu mulai hari itu , tanggal 10 Mei 1963, dia ditugaskan ke lapangan sebagai wartawan. Itu juga merupakan masa percobaan. Jika tidak mampu akan dikembalikan jadi korektor lagi. Untuk pertama , HI diberi tugas liputan di kepolisian dan pengadilan.
Bandung Terbakar
Persis saat hari pertama bertugas, di Bandung terjadi peristiwa yang mengguncang seluruh persada negeri ini. Bahkan terberitakan sampai ke luar negeri.
Tak lain, apa yang terkenal dengan prahara 10 Mei (1963). Sejumlah mahasiswa ITB Bandung melakukan pembakaran mobil dan barang barang milik warga China. Itu merupakan kerusuhan terbesar di negeri ini pasca 18 tahun merdeka.
Menurut para mahasiswa, aksi itu bukan penjarahan. Itu dilakukan untuk memberi peringatan kepada warga China supaya tidak sombong di negeri ini. Itu merupakan terapi kejut kebangsaan.
Tentu, berita-berita Hamzah hari pertama dia bertugas sebagai wartawan, ya, kejadian kejadian itu. Jalan bagi HI mulai terbuka. Alhamdulillah banyak peristiwa yang menjadi obyek liputan wartawan pemula itu.
September Kelabu
Selang dua tahun, terjadi pula peristiwa berdarah yang menorehkan noktah merah pada sejarah panjang negeri ini. Tak lain dan tak bukan adalah peristiwa pemberontakan G30S/PKI tanggal 30 September 1965.
Inilah sejarah kelam yang dialami bangsa ini. Enam orang jendral dan seorang perwira pertama dibunuh secara kejam. Peristiwa itu menggoreskan trauma berkepanjangan. Bahkan sampai sekarang trauma itu masih terasa.
Belantara Kalimantan
Hamzah juga mengalami masa yang bisa jadi kenangan dan kebanggaan. Dia berkesempatan mengikuti latihan para (terjun). Kegiatan itu berkait dengan konflik antara Indonesia dan Malaysia dengan semboyan komando Dwikora. Dwi Komando Rakyat. Ganyang Malaysia.Itu merupakan keputusan politik luar negeri ala Sukarno.
Bersama beberapa orang wartawan lain, Hamzah dinyatakan lulus untuk mengikuti latihan terjun payung yang diselenggarakan Angkatan Udara RI. Mereka adalah Amir Zainun (Pikiran Rakyat) Arifin Azman (Warta Bandung) Sardjono BA (PIA), Krisna Harahap (sekarang Profesor Dr. H. Krisna Harahap SH MH atau mantan Hakim Agung) Wartawan Harian Banteng.
Lalu dari Jakarta, ada Hendro Subroto (TVRI) dan Aristides Katoppo dari Sinar Harapan. Setelah itu Hamzah dan Amir Zainun sering latihan terjun bersama anggota Kopashanda/Kopassus, di sekolah para komando Batujajar.
Beberapa bulan setelah lulus dari latihan terjun dan mendapat brevet, mereka diajak melakukan penerjunan di wilayah Kalimantan Utara , perbatasan dengan Malaysia.
Dari Bandung, Krisna Harahap dan Amir Zainun terbang duluan dan menunggu di Sambas Kalimantan Barat. Hamzah, Yunuswinoto, Hendro Subroto, Aristides Katoppo dan lain lain menyusul. Mereka terbang keesokan harinya jam 03.00 dini hari dari Lanud Husen Sastranegara Bandung.
Sepanjang perjalanan sampai tempat tujuan hujan lebat tak henti henti. Pesawat mencoba berputar-putar dulu menunggu situasi membaik. Lantaran hujan tak juga reda dan situasi tak memungkinkan untuk menerjunkan pasukan di rimba belantara Kalimantan Tengah itu, akhirnya diputuskan untuk kembali ke Bandung.
Rupanya itulah keputusan terbaik.
Ketika bertemu kembali dengan Krisna dan Amir mereka cerita sepanjang malam itu berdoa agar penerjunan subuh itu dibatalkan. Soalnya ada info bahwa pihak musuh (pasukan Malaysia dibantu Inggris) sudah mencium rencana itu dan siap menyergap para penerjun di bawah.
Dapat dibayangkan bagaimana mana nasib Hamzah dan kawan-kawan serta pasukan kopassus jika penerjunan itu jadi dilakukan. Semua kejadian itu terpateri dalam benak dan ingatan Hamzah dkk.
Dia menyebut, bahwa dari seluruh wartawan yang ikut latihan itu, sekarang hanya tinggal dua orang. Hamzah dan Krisna Harahap, nama terakhir itu dulu pemimpin redaksi Harian Mandala, boss kami yang kemudian jadi dosen, guru besar dan Hakim Agung yang dijabatnya selama 17 tahun.
Sekarang Krisna Harahap, kata urang Sunda ‘kebo mulih pakandangan, nya muncang balik kapuhu’ atau selama berada di luar profesi jurnalistik, dadanya tetap wartawan.
Tak lama setelah bebas tugas, diterbitkan lagilah Harian Mandala dalam versi digital bernama Koran Mandala. Tatang Suherman menjadi motor penggerak penerbitan itu.
Banyak alumni Mandala yang bergabung dengan Koran Mandala baru, atau Mandala reborn itu. Namun Hamzah Ibrahim tidak bergabung secara struktural, melainkan secara kultural dia menyatakan taqlid.
Tentang Hamzah yang Ibrahim itu, setelah berkutat dalam profesi jurnalistik lebih dari 30 tahun, tentu dia merasakan suka dan duka. Seperti wartawan lain, seperti juga semua merasakan dan mengalami sirkel kehidupan.
Hamzah dan keluarga, yang kebetulan istrinya juga juru warta, memahami dan merasakan hidup seorang wartawan itu bagai bergelut antara benci dan cinta,antara nesu dan rindu. Banyak pejabat yang ambek ketika tersenggol berita, tapi banyak juga yang senyum dikulum manakala berita tentang dirinya, jabatannya atau lingkungannya enak dibaca.
Hamzah sendiri mengaku, sempat mendapat ancaman pembunuhan dari seorang pejabat kerena berita kritik yang dibuatnya. Hamzah sudah siap mental.
Dia sudah tergodog di kawah candradimukanya jurnalistik. Hamzah itu sudah seperti Gatot Kaca. Satria Pringgodani itu mendadak gagah perkasa dan mampu terbang ke angkasa.
Bagi Hamzah, sekadar ancaman, kecil. Jangankan ancaman, wartawan yang dibunuh juga sudah banyak. Sampai tahun lalu, menurut literasi yang ada katanya sudah 18 orang yang mati dibunuh. Saya ulangi, dibunuh, bukan terbunuh.
Dalam kasat mata saya melihat, Hamzah sudah bahagia menjalani hidup sebagai seorang wartawan.
Kebahagiaan itu tertambah-tambah setelah mendapatkan istri. Seperti di atas saya sebut istrinya itu juga seorang selain wartawan, juga seorang PNS di Kodam Siliwangi. Jadi dia mendapat jodoh kerena “cinlok”.
Rumah tangga mereka terkesan ‘samawa’, indikasinya antara lain:
– Telah brojol empat orang anak akibat ranjangnya yang senantiasa bergoyang.
– Mereka sudah menunaikan ibadah haji, sehingga nama mereka bertambah keren , haji Hamzah Ibrahim dan Hj. Endah Suhaedah.
– Dalam keseharian, meski sudah sama sama tua, mereka tetap mesra. Saya kadang mencuri dengar panggilan ‘sayang’ di antara keduanya. Sering tampak sang isteri memapahnya saat berjalan di luar.
Dalam usia 84 tahun secara fisik Hamzah sudah terlihat udzur. Kata istrinya, selain jantung, penyakit lain juga sudah lama menggerogoti tubuh anak rencong itu.D ia sudah tidak dapat membaca dan menulis. Penglihatannya pun sudah amat buruk.
Sebagai manusia yang sadar akan kematian, dia suka bilang “lagi menunggu maut menjemput”.
Kalimat itu aslinya saya yang ucapkan. Di dalam pertemuan Wartawan ‘rengkod’ beberapa tahun lalu, saya mengatakan “jika saya mati, kapanpun , antarkan saya sebagai wartawan”.
Jangan katakan saya seorang pedagang walau secara kecil kecilan pernah melakukan. Jangan sebut ustad apalagi kiyai, walau pernah beberapa saat ikut kuliah kastrologi dan mondok di kobog.
Saya sangat merasa naif, walau KH Dr. Syarkosih Subki, pemimpin Pontren Heuleut Majalengka mengatakan, wartawan juga kiyai. Sama-sama amar makruf nahi mungkar. Kalau ada wartawan yang kurang baik, tidak ada jaminan semua ustadz dan Kiyai masuk surga.
Terakhir, tulisan ini saya buat, pertama untuk menunjukkan rasa solidaritas dan hormat kepada shohib Hamzah Ibrahim, teman seprofesi, sahabat pribadi dan sempat kerja satu atap dan tinggal tetanggaan.
Semoga dia semakin panjang usianya dan Husnul khatimah. Semoga menjadi bumbu penyedap untuk suksesnya Kongres Nasional PWI pusat yang diselenggarakan di Bandung mulai 25 September 2023 nanti.
Dirgahayu PWI, organisasi tempat saya bergabung sejak tahun 1973 sampai maut merenggut. Alhamdulillah saya dan tentu Hamzah yang Ibrahim, sudah memegang kartu PWI seumur hidup.(Dedi Asikin)
Penafian: Opini di atas murni adalah tanggung jawab penulis. Redaksi Koran Mandala hanya sedikit melakukan penyuntingan tanpa mengubah logika dan makna tulisan.