KORANMANDALA.COM – Merayakan sebuah festival (acara untuk memperingati suatu hal) adalah sebuah kelumrahan, namun bagaimana caranya jika dilihat dari perspektif pendidikan waldorf terutama untuk anak usia dini?
Sejatinya, merayakan sebuah festival merupakan pengingat bagi hadirnya kita sebagai manusia di muka bumi. Menyadari bahwa kita bagian dari alam semesta yang juga memiliki ritme teratur untuk membentuk sebuah keharmonisan. Konstelasi dan pergerakan benda-benda angkasa inilah yang kemudian kita nikmati sebagai pergantian waktu siang dan malam, pergantian musim, pasang surut laut dan sebagainya.
Dalam pendidikan waldorf, perayaan festival juga biasa kita lakukan untuk mengingat akan suatu momen penting dalam perjalanan hidup.
Nilai-nilai luhur yang sarat akan makna dari sebuah festival seakan menjadi buah yang tersaji dalam pendidikan. Ketika proses pendidikan tersebut terjadi pada usia dini, lalu bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya? Tulisan ini akan membahas bagaimana pendidikan waldorf menggunakan perspektifnya.
PENDIDIKAN WALDORF UNTUK ANAK USIA DINI
Pendidikan Waldorf adalah salah satu alternatif dalam pendidikan holistik yang fokus pada keseimbangan aspek head, heart and hand dengan cara penyampian yang indah.
Baca juga : Pendidikan Waldorf: Sebuah Pendekatan yang Patut Dipertimbangkan
Para antroposofis (anthroposopist), yaitu mereka yang mempelajari dan menerapkan filosofi yang dipelopori oleh Rudolf Steiner, berpandangan bahwa anak usia dini berada pada kondisi dreamy unconscious mind. Pada fase ini mereka belum siap untuk dibawa kedalam alam realitas. Oleh karenanya, anak usia dini memiliki kecenderungan besar untuk meniru apa yang dilakukan oleh dewasa di sekelilingnya.
Secara fisik, perkembangan otak limbik (feeling brain) pada anak usia dini belum sanggup untuk melakukan aktivitas yang mengandalkan nalar dan rasionalitas. Oleh karena itu, kita memerlukan cara yang sesuai dengan fungsi otak limbik itu sendiri yaitu memproses emosi, serta sebagai penghubung otak primitif dan neo korteks.
MENDONGENG UNTUK MENYAMPAIKAN MAKNA BAGI ANAK USIA DINI
Pendidikan waldorf untuk anak usia dini mengedepankan story telling atau mendongeng dengan tutur dan perangkat yang indah dan sederhana, salah satunya untuk menyampaikan makna sebuah festival.
Umat muslim di seluruh dunia merayakan Idul Fitri setelah berpuasa ramadan sebagai salah satu hari besar yang sarat nilai.
Baca juga : Storytelling Dalam Pendidikan Waldorf
Saat merayakan Idul Fitri, guru atau orang tua yang berkecimpung dalam pendidikan waldorf, bisa membuat dongeng dengan memilih simbol yang terkait dengan momen tersebut.
Misalkan, cangkang ketupat yang terbuat dari jalinan janur untuk menunjukkan semangat kebersamaan. Lalu kita hanya mengisi beras separuh penuh pada cangkang ketupat untuk menyampaikan ajaran menahan diri.
Bulan sabit untuk menyampaikan siklus bulan yang baru, dalam hal ini menyampaikan nilai luhur kembali kepada fitrah manusia yang suci.
Dongeng dalam pendidikan waldorf mengedepankan aspek keindahan, kesederhanaan serta kesyahduan. Hal ini semata-mata untuk mempertimbangkan kemampuan anak usia dini dalam menerima dan mengolah informasi yang sesuai dengan perkembangan mereka.
Merayakan festival dalam pendidikan waldorf untuk anak usia dini haruslah mengingat tujuan utamanya yaitu menyampaikan makna dari momen itu sendiri. (iwk)