Oleh: Tatang Suherman (Pemred Koran Mandala, Pengurus PWI Pusat 2023-2028)
PEMILIHAN Presiden tahun 2004 diikuti lima pasangan calon. 1. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional); 2.Hamzah Haz dan Agum Gumelar (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan); 3.Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan); 4.Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) kemudian 5. Wiranto berpasangan dengan Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya).
Dari lima pasangan itu, yang maju ke putaran kedua adalah pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dengan Soesilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla.
Sementara pemenangnya sekaligus menjadi presiden dan wakil presiden 2004 – 2009 adalah pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla.
Yang menarik dari perhelatan akbar tersebut adalah adanya fenomena di mana pasangan Amien Rais Siswono Yudho Husodo selalu mendapat perhatian masyarakat. Hampir di setiap acara pertemuan dengan masyarakat, baik sebelum maupun sesudah kampanye, pasangan Amien – Siwono selalu mendapat sambutan dari lautan penggemar.
Ada rasa optimis bahwa pasangan ini akan memenangkan pertarungan politik pilpres. Rasa optimis ini wajar muncul lantaran sambutan berbeda dialami pasangan lain di mana di setiap kampanye tidak segegap gempita yang dialami Amien Rais-Siswono.
Ironisnya, gegap gempita di lapangan sangat berbeda jauh dibanding hasil dari bilik suara. Menurut perhitungan akhir yang dikeluarkan KPU ternyata pemenangnya adalah pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono.
Amien Rais – Siswono yang dielu-elukan di setiap acara, terhenti sampai putaran pertama. Hasilnya berbanding terbalik ketika pencoblosan Pemilu 2004, Amien – Siwono hanya dapat 14,66% suara saja. Pertanyaanya, mengapa bisa seperti ini? Mengapa tokoh reformasi seperti Amien yang menorehkan sejarah perubahan dari orde baru menjadi orde reformasi tidak bisa berkuasa?
Fenomena seperti Amien Rais tidak mustahil akan dialami pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar. Indikasinya terlihat di mana setiap pertemuan dengan masyarakat, Anies selalu dielu-elukan dan disambut gegap gempita.
Namun faktanya, rata rata lembaga survei yang merelease hasil kerja mereka, selalu menempatkan Anies-Cak Imin di urutan buncit.
Di Jawa Barat, contohnya, pasangan Prabowo-Gibran menjadi pasangan paling unggul versi lembaga survei. Lepas dari dugaan bahwa lembaga survei memang berpihak kepada yang bayar, namun menurut data, 80 persen pemilih berada di pedesaan dan hanya 20 persen yang berasal dari perkotaan.
Melihat data tersebut, patut dimaklumi kalau setiap lembaga survei yang mengambil sample penelitian di wilayah rural (pedesaan), hasilnya menunjukkan bahwa Prabowo selalu unggul dibanding Ganjar apalagi Anies yang kerap berada di posisi buncit. Logikanya, Prabowo yang sudah 4 kali mengikuti pertarungan pilpres, pasti lebih dikenal oleh masyarakat terutama di pedesaan ketimbang Anies atau Ganjar Pranowo.
Sejumlah pengamat menyebutkan bahwa fenomena Amien Rais tidak mustahil bakal menimpa Anies di ujung pemilihan di mana KPU mengumumkan pasangan di luar Anies-Cak Imin yang menjadi pemenang.
Ini harus diwaspadai oleh pasangan Anies – Cak Imin. Amien Rais syndrom begitu sebutannya. Buat yang belum tahu, Amien Rais Syndrome merujuk pada fenomena pemilih Amien Rais pada 2004 yang rendah, meski acara kampanye politiknya dihadiri banyak orang.
Sebagai gambaran, pasangan Anies – Cak Imin unggul di sejumlah kota besar seperti Banten dan Jakarta. Mengapa begitu? Pasangan ini unggul di perkotaan lantaran voters perkotaan didominasi kelas menengah yang tidak bisa dimobilisasi oleh opinion leaders. Mereka bergerak karena kesadaran masing-masing.
Namun patut disadari bahwa secara nasional, mayoritas voters tinggal di rural area. Mereka berada di kategori menengah bawah yang lebih mudah diarahkan oleh opinion leaders (pemuka agama, tokoh masyarakat).
Pemilih yang berasal dari rural menurut survei cenderung tak akan mau datang kampanye atau aktivitas politik lainnya, karena waktunya habis untuk bekerja dan sebagainya. Ironisnya mereka kebanyakan memilih Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Pemilih dari rural ini cenderung apatis dalam politik, namun secara jumlah menentukan. Inilah kenapa Prabowo Subianto dan Ganjar Panowo relatif unggul dari AMIN di berbagai survei. ***