Baca juga: 7.470 Peserta Calon Pegawai Kejaksaan RI Ikuti Test 110 Soal dengan Durasi 120 menit
Tanggal 29 September dipimpin oleh Brigjen Albertin Walter Sholter Mallaby, pasukan sekutu dan Belanda itu telah berada di Surabaya.
Sekutu diperkuat oleh sekitar 4 ribu pasukan Gurkha, tentara bayaran dari India bagian Timur.
Tugas utamanya melucuti tentara Jepang yang sudah jadi pecundang perang.
Setiba di Surabaya, mereka langsung mengambil alih peralatan perang Jepang, seperti tank, senjata anti pesawat, dan alat transportasi militer.
Tetapi ternyata mereka melampaui tugas yang sesungguhnya yang disepakati oleh pemerintah Indonesia.
Mereka juga menguasai obyek obyek penting seperti Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Kantor BPM. Mereka juga menyerobot rumah penjara, mengeluarkan tahanan perang Jepang.
Mereka juga tanpa izin mengibarkan bendera Belanda (merah putih biru). Lebih dari itu mereka juga menangkapi tokoh Surabaya. Beberapa tokoh dan pejabat di Surabaya antara lain Bung Tomo atau Sutomo, Gubernur Jawa Timur Suryo, Mayjen Sungkono, Mayjen dr Mustopo, Mayjen Mangundiprojo Ruslan Abdul Gani dan lin-lain.
Kondisi itu mulai memicu darah aparat, pejuang dan masyarakat Surabaya.
Puncak kemarahan masyarakat terjadi lantaran mereka menyebar selebaran lewat pesawat udara.
Isinya ultimatum agar masyarakat dan para pejuang menyerah.
Tentu saja ultimatum itu tidak didengar warga. Memang siapa takut.
Tanggal 27 Oktober terjadi kontak senjata pertama kali.
Para pejuang terdiri dari TKR, pasukan Hizbullah, Polisi dan pemuda yang tergabung dalam pasukan Perisai melakukan penyerangan dan mengambil kembali tempat tempat vital yang dikuasai sekutu.
Dua orang pejuang, Kusno dan Haryono, berhasil naik ke atap hotel Yamato dan merobek bagian biru bendera Belanda yang berkibar diatas hotel itu.
Tanggal 30 Oktober Brigjen Mallaby hendak ke hotel Internatio. Tapi ia terhalang kemacetan. Supir dan ajudan meninggalkan sang jenderal sendirian di mobil.
Tiba tiba mobil itu meledak dan Mallaby tewas.
Ada beberapa versi tentang kematian komandan perang sekutu itu.
Dalam film Sang Kiyai karya Rako Prijanto yang tayang 2013, diceritakan hari itu Mallaby akan ke hotel Internatio ketika mobilnya macet tiba tiba pintu mobilnya diketuk seseorang, ketika dibuka laki laki bernama Harun itu langsung menembakkan pistol dan sang jendral tewas.
Ruslan Abdulgani mengaku hanya menerima informasi bahwa Mallaby mati bersama mobil yang dilempari granat.
Gani khawatir Peristiwa itu akan berakibat tidak baik. Dan benar, pasukan sekutu berang. Tanggal 9 Nopember Mayjen Erick Carten Roberth Mansergh pengganti Mallaby menyebar ultimatum.
Semua tentara dan masyarakat Surabaya harus menyerahkan diri selambatnya pukul 09.00 tanggal 1O Nopember.
Bukanya diindahkan, ultimatum itu malahan dijawab dengan nyalak senjata dan seliweran bambu runcing. Teriakan Allahuakbar dan merdeka atau mati yang dikumandangkan Bung Tomo melalui radio, menjadi pelecut semangat berapi api.
Perang raksasa tidak dapat dielakkan. Pasca baku tembak dan selama kontak senjata hampir 1 bulan ternyata ada 20 ribu pejuang yang gugur.
Sementara dari pihak Sekutu dan Belanda ada 160O orang mati.
Pokoknya perang Surabaya itu benar benar menjadi neraka bagi semua pihak terlebih bagi tentara Gurkha.
Kabarnya banyak diantara mereka yang mencoba kabur dari medan laga.
Dalam perang spektakuler itu ikut serta pasukan laskar Hizbullah.
Mereka datang dari berbagai pesantren di Jawa Timur seperti Jombang, Mojokerto, Blitar, Sidoarjo dan lain-lain.
Bahkan juga dari Jawa Barat. Ada dua pasukan Jawa Barat yaitu dari pontren Buntet dipimpin Kiyai Abbas Jamil dan dari Babakan Ciwaringin (keduanya di Kabupaten Cirebon) dipimpin Kiyai Amien Sepuh.
Mereka berangkat ke Surabaya dengan naik Kereta Api.
Para santri dari berbagai pondok pesantren itu berdatangan, karena terpanggil resolusi jihad yang digelar para ulama NU tanggal 22 Oktober di Surabaya.
Resolusi yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari itu memfatwakan wajib hukumnya memerangi tentara penjajah.
Mereka umumnya hanya bersenjatakan bambu runcing. Bambu runcing itu konon bertuah. Sebelum dibagikan kepada para pejuang, bambu itu diasmai (didoai) dulu dan diujungnya yang runcing, diulasi cairan (olie). Cairan itu mengandung racun yang mematikan.
KH Mansyur, pemimpin pondok pesantren Al Fallah desa Kalipucang, Kecamatan Saman kulon kabupaten Blitar, dikenal sebagai akhli nyepuh bambu runcing (BR).
Puluhan ribu BR hasil olah spiritual Abah Mansyur dikirim dan dibagikan kepada para pejuang Hizbullah.
Senjata super tradisional itu ternyata ampuh membunuh pasukan Sekutu dan Belanda. Dari korban 1.600 tentara kolonial itu, kebanyakan ditembus ujung bambu yang runcing itu.
Bahwa korban di pihak Pejuang lebih banyak, masuk akal saja. Dari aspek persenjataan memang tidak sebanding. Bambu runcing lawan meriam.
Semangat lawan kesamaktaan senjata. Mana tahan. Fenomena menarik itulah barangkali yang mendorong pemerintah menetapkan peristiwa peperangan yang spektakuler itu menjadi hari Pahlawan Nasional Indonesia yang diperingati setiap tanggal 10 Nopember.
Selamat hari Pahlawan.(*)