KORANMANDALA.COM – Ada beberapa tokoh yang ada dibalik pertempuran hebat di Surabaya Oktober-Nopember 1945. Semisal, Gubernur Soerjo, Bung Tomo, KH Hasyim Asy’ari, HRM Mangundiprojo Komandan TKR, dr. Moestopo, Sungkono (komandan BKR), Abdul Wahab Saleh (pothografer), M. Yasin (Brimob), Ruslan Abdul Gani (politisi) dan lain-lain.
Tapi yang paling menonjol dan menjadi ikon pertempuran Surabaya itu adalah bung Tomo alias Sutomo.
Di masa pendudukan tentara Jepang, dia bekerja pada Kantor Berita dan Radio Domei milik pemerintahan Dai Nippon. Waktu Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu menyusul porak poranda Hiroshima dan Nagasaki diterpa bom atum Amerika, dia manfaatkan perlengkapan radio Domei dan disembunyikannya di sebuah tempat.
Kemudian ditengah tengah hiruk pikuk perang itu, bung Tomo melakukan siaran agitasi dan membakar semangat masyarakat melawan tentara sekutu (AFNEI) dan tentara Belanda (NICA).
Baca juga: Dari Ponpes Mengusir Penjajah, KH. Eyang Hasan Maolani Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Akhir bulan September, mereka (Sekutu dan Belanda) sudah berada di Surabaya. Melalui siaran radio itu, bung Tomo terus terusan memompa semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan 17 Agustus 1945 (dua bulan sebelumnya).
Pekik “Merdeka atau mati” benar benar menjadi pelecut semangat masyarakat, para pejuang, TKR, Laskar Hizbullah, para pemuda (PERISAI) dan lain-lain.
Bung Tomo sangat dikenal dan dekat dengan masyarakat kota di ujung timur Pulau Jawa itu. Dia dikenal sebagai seorang politikus (Partai Parindra), penyiar radio dan juga Wartawan.
Baca juga: Seberapa Besar Hormat Kita Pada Pahlawan?
Lahir di Blauran Surabaya tanggal 3 Oktober 1920 dengan nama Sutomo. Ayahnya Kartawan Ciptodiprojo adalah seorang karyawan di kantor Walikota.
Pada usia 16 tahun, Sutomo terpaksa berhenti sekolah (Mulo) kerena ayahnya berhenti kerja di Balekota. Bung Tomo mulai cari uang sendiri dengan usaha kecil kecilan antara lain berjualan surat kabar.
Sebagai penjaja Surat Kabar, setiap hari dia membaca koran sehingga tahu bagaimana cara membuat berita. Lama-lama tertarik untuk jadi wartawan.
Mula-mula jadi wartawan lepas di harian Soeara Oemoem Surabaya (1937). Rupanya anak muda berusia 17 tahun itu punya bakat jadi seorang wartawan.
Setahun kemudian dia sudah jadi redaktur mingguan Pembela Rakyat. Lalu Kepala Kantor Kantor Berita Antara Jawa Timur.
Waktu pendudukan tentara Jepang 1942-1945, bung Tomo bekerja sebagai wartawan dan penyiar radio Domei milik pemerintah Dai Nippon.
Abdul Wahid dalam bukunya “Bung Tomo hidup dan mati sebagai penyebar semangat”, menyebut bung Tomo itu sebelum terjun ke dunia Pergerakan terlebih dahulu jadi wartawan.
Tulisannya kritis dan dikemas dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami para pembaca dari kalangan bawah.
Semboyan perjuangannya “hidup atau mati’ benar-benar menyentuh dan memacu semangat para pejuang.
Dia aktif di kepanduan dan sempat menjadi orang kedua di Surabaya yang jadi Pandu Garuda. Bung Tomo juga aktif sebagai politikus dengan bergabung di Partai Indonesia Raya (Parindra).
Dia juga menjabat Ketua Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).
Karena kegiatan sosial itu, dia dikenal dan dekat dengan rakyat.
Menjelang perang Surabaya, dia juga sempat menemui Kiyai Hasyim Asy’ari di Jombang setelah kiyai itu memimpin dan mengeluarkan resolusi jihad tanggal 22 Oktober 1945. Berkonsultasi dan memohon petunjuk.
Berkat perjuangannya itu Bung Tomo pernah diangkat menjadi penasihat pribadi Jendral Sudirman. Lalu Presiden Sukarno mengangkatnya menjadi salah seorang pimpinan Tentara Republik Indonesia dengan pangkat Mayor Jendral. Dia juga sempat jadi Menteri Veteran dan urusan perjuangan rakyat pada kabinet Burhanuddin Harahap.
Beliau wafat tanggal 7 Oktober 1981 ketika sedang menjalankan ibadah haji di Arafah. Jenazahnya kemudian dibawa pulang dan dimakamkan di Ngagel Surabaya. Tahun 1960 Bung Tomo mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Selamat Hari Pahlawan. (*)