Menurutnya, sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, maka putusan itu berlaku seketika.
Tidak ada penafsiran lain. Apapun peristiwa yang terjadi, tak peduli. Putusan
itu berlaku sejak palu diketok majelis hakim. Titik !
Apapun yang terjadi di MK, hanyalah buah dari syahwat politik yang haus kekuasaan.
Gara-gara politik, demokrasi di negeri ini menjadi tercederai. Hukum dipelintir. Pasal pun diutak-atik.
Hukum yang tadinya pakai kaca mata kuda, hanya melihat apa yang terjadi di depan persidangan, bisa berubah dalam sekelebat. Ia gampang diintervensi.
Gonjang-ganjing, carut marut dan gugat menggugat itu, sepertinya tak lepas dari satu orang bernama Gibran Rakabuming Raka.
Gibran sempat menjungkir balikan tatanan demokrasi di negeri ini.
Tahun 2020, di Solo, Gibran ujug-ujug maju sebagai calon walikota. Padahal ada antrian panjang di tubuh PDIP yang siap ikut kontestasi.
Dari mana Gibran dapat tiket ? Ia tak tercatat dalam struktur partai. Ia bukan
pula kader militan.
Hanya karena jabatan sang ayah, Gibran bisa menyingkirkan orang-orang
PDIP yang punya hak dicalonkan menjadi walikota.
Mereka yang sejak lama meniti karir dari tingkat ranting, kecamatan hingga tingkat yang lebih tinggi, harus tersisih politisi karbitan.
Dalam tradisi partai, ada beberapa proses yang harus dilalui. Misalnya, seleksi, integritas, kualitas, etikabilitas dan elektabilitas.
Semua proses itu nampaknya diterabas. Pencalonan Gibran sebagai walikota Solo, haqul yakin, tak melalui proses itu.
Apa yang terjadi saat ini, seperti mengulang cerita lama di Solo.
Gibran dinyatakan lolos sebagai cawapres dan berhak mendampingi Prabowo Subianto dalam helatan Pilpres 2024.
Ia bisa melenggang karena dibekali putusan ‘sakti’ Pakde Usman. (*)