Baca juga: Lagi! Pemkab Bandung Borong Empat Penghargaan Kesehatan dari Pemprov Jabar
Nusantara versi GM lebih luas dari versi Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara menyebut Nusantara itu untuk wilayah seluas Hindia Belanda, yang kemudian menjadi area Republik Indonesia.
Sedang versi GM, Nusantara itu sampai ke beberapa tempat di luar wilayah NKRI, seperti Selat Malaka, Pahang, Philipina dan Tumasek (Singapura).
Usai dilantik menjadi Mahapatih tahun 1336 oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, GM mengucapkan sumpah palapa :
“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa. Lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek. Samana isun amukti palapa”.
Artinya, Jika sudah menguasai Nusantara, saya (GM) baru akan berhenti puasa makan buah palapa (sejenis rempah rempah). Ketika tahun 1351 Hayam Wuruk naik tahta (generasi ke 4) mengganti ibunya Tribuana Tunggadewi, GM terus menjadi Mahapatih mendampingi Hayam Wuruk.
Namun akhirnya dengan terpaksa HW harus memberhentikan GM pasca perang Bubat tahun 1357.
Ceritanya dimulai ketika HW jatuh cinta pada lukisan seorang putri cantik. Putri yang ada pada lukisan itu tiada lain Diyah Pitaloka Citraresmi, putri Prabu Lingga buana raja Galuh yang beribukota di Kawali Ciamis.
Maka dikirimlah utusan dengan membawa surat lamaran ke Prabu Lingga buana. Karena yang melamar seorang raja dari kerajaan besar tentu saja prabu Lingga Buwana tidak berkeberatan.
Malah beliau juga setuju pernikahan dilaksanakan di ibu kota Majapahit.
Prabu Lingga Buwana tidak mempedulikan kritik petinggi istana yang mengingatkan bahwa hal itu melanggar pakem dan adat istiadat.
Tidak biasa pernikahan dilangsungkan di tempat pengantin pria.
Sementara itu di Majapahit sesungguhnya ayah Hayam Wuruk
Kertadharma (suami ratu Tribuana Tunggadewi) tidak setuju pernikahan HY dengan Diyah Pitaloka itu. Salah satunya karena HW akan dijodohkan dengan Indu Dewi.
Kertadharma meminta GM membatalkan perjodohan itu. GM sendiri sebenarnya ingin pernikahan itu menjadi instrumen penyerahan kedaulatan Galuh sehingga menjadi wilayah kekuasaan Majapahit.
Kepada HW, GM mengatakan bahwa pernikahan itu tidak baik, karena antara HW dengan Diyah Pitaloka ada pertalian darah.
Rd. Wijaya kakek HW memiliki darah kerajaan Galuh. Tapi lantaran cinta sudah bersemi, HW tetap ingin melangsungkan pernikahan itu.
Sementara itu rombongan pengantin wanita berangkat dari Kawali dengan menggunakan kendaraan darat. Dari Cirebon ada 100 kapal layar yang mengantar rombongan menuju Majapahit di Jawa Timur. Mereka dipersilahkan istirahat di pesanggrahan alun alun Bubat, sebelah Utara Trowulan ibukota Majapahit.
Sebelum raja HW menemui rombongan, GM terlebih dahulu berangkat menemui rombongan. Tapi sayangnya ada ucapan GM yang menyinggung perasaan dan harga diri prabu Lingga Buwana. GM mengatakan bahwa penyerahan penganten putri itu sebagai upeti.
Ketersinggungan prabu Lingga Buwana dan keluarga serta petinggi Galuh memuncak. Tidak dapat dihindari perang pun terjadi. Tentu saja tidak seimbang. Sebab rombongan Galuh itu tidak disiapkan untuk perang. Melainkan untuk melaksanakan pernikahan. Sementara GM sudah menyiapkan pasukan tempur.
Akibatnya hampir seluruh rombongan Galuh gugur, termasuk prabu Lingga Buwana. Tinggal putri Diyah Pitaloka yang masih hidup. Tetapi kemudian dia juga mengakhiri hidupnya dengan menusukkan konde persis mengenai ulu ati.
HW yang mengetahui kejadian itu hanya bisa menangisi mayat kekasihnya yang sudah kaku. Dia menyesal dan marah kepada GM. Selain itu HW juga mendapat protes dari negara negara sahabat atas kejadian yang menimpa raja Galuh pada perang Bubat 1357 itu.
Belakangan dengan cara halus HW meminta GM istirahat di sebuah Pesanggrahan yang telah disiapkan. Tempat itu cukup luas bernama Madakaripura. Terletak di kaki gunung Bromo dan Semeru. Sebelah Selatan Probolinggo.
Di tempat itu GM menyepi. Tetapi kemudian, badan tegap dan perkasa itu tidak dapat melawan power syndrom yang menyiksa dirinya. Ia mulai sakit-sakitan dan akhirnya setelah tujuh tahun menyendiri tahun, 1364 dia wafat.
Akibat perang Bubat itu hubungan Galuh dengan Majapahit menjadi renggang. Bahkan adik putri Diyah Pitaloka, Lingga Wasthu yang menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit.
Belakangan juga ada larangan masyarakat Galuh tidak boleh menikah dengan orang Majapahit. Peraturan itu berkembang menjadi mithos orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa.
Majapahit selanjutnya setelah dipimpin 13 generasi, tahun 1528 dinyatakan runtuh total. Sebenarnya kemunduran sudah terasa sejak Hayam Wuruk meninggal tahun 1368. Penguasa terakhir adalah raja Girindrawardhana 1474 sampai 1528.
Penyebab keruntuhan itu seperti termuat dalam Pararaton dan buku negara kertagama, antara lain adalah karena:
-Pertikaian dan perang saudara karena berebut kepentingan,
-Pemberontakan dan pelepasan diri beberapa daerah karena tidak puas kepada pemerintah kerajaan,
-Masuknya agama Islam yang merubah orientasi politik budaya dan pemikiran masyarakat,
-Serangan dari negara-negara Islam seperti Demak, Cirebon, Banten, juga Aceh. Sementara angkatan perang Majapahit sudah semakin lemah,
-Ekonomi yang makin merosot akibat kekacauan politik dan perang saudara.
Sayang sekali, padahal kerajaan itu sudah maju dan berkembang. Sempat menguasai beberapa wilayah diluar kawasan NKRI. Sudah mampu menjalin hubungan dengan beberapa negara lain terutama di Asia Tenggara seperti Thailand, Miyanmar, Kamboja dan Vietnam.
Barangkali kejadian itu layak menjadi cermin bagi Republik Indonesia yang mulai dihiasi pertengkaran dan rebutan kepentingan.
Usia NKRI ini baru 78 tahun, separoh saja dari usia Majapahit yang sampai 155 tahun. Jangan-jangan NKRI kalah oleh kejayaan Majapahit.
Ingat sinyalemen Prabowo Subianto dalam kampanye pilpres 2019. Indonesia akan bubar tahun 2030. Amit amit jabang tutuka. (*)