KORANMANDALA.COM – Cecep (Juhanda) masih ngotot mau Golput dalam pemilu 2024 termasuk dalam pilpres. Dia tak peduli ketika saya bilang Golput itu bukan solusi melainkan frustasi.
Alasannya dia bilang, pertama banyak figur (kader) karbitan. Asal kesohor tanpa dilihat kapasitas dan integritasnya. Kedua, dalam pilpres saya melihat ada cara-cara penetapan calon ( Capres/Cawapres) yang tidak elegan bahkan terkesan menghalalkan segala cara, dan yang ketiga, menurutnya, siapapun yang jadi, tidak akan bisa berbuat banyak.
Kondisi negeri kita ini bukan sekedar sedang tidak baik baik, tapi sedang pajeulit kaya rambut kusut. Salah satunya menghadapi utang yang sudah setinggi gunung Galunggung.
Mungkin benar saya sudah frustasi nih, desisnya.
Ucapan si Cecep itu membuat tak bisa berbuat banyak. Itu hak dia yang dijamin UU.
Baca juga: Jaga Moralitas Pilpres 2024, Goenawan Mohamad dan Belasan Tokoh akan Menggugat ke Bawaslu RI
Mudah mudahan saja tidak banyak orang yang putus asa kaya dia. Terlalu banyak Golput, akan menyebabkan legitimasi pemerintahan menjadi rendah.
Menurut data BPS pemilu tahun, 2019 jumlah Golput masih ada 34,75 juta atau sekitar 18,02%. Angka itu turun dari 2014 yang berjumlah 58,61 juta atau 30,22%.
Tahun 2024, si Cecep tak bakal sendirian.
Menurut hasil survei Centre of Strategic and International Studies (CSIS) ada 11,22% yang menyatakan mau abstensi pada 2024. Golput itu pendekan dari kata Golongan Putih, sebuah gerakan moral sekelompok orang menjelang pemilu 1971.
Baca juga: Penyidik Jadwalkan Pemeriksaan Ketua KPK Firli di Bareskrim Polri Hari Ini, Mangkir Lagi?
Arti lain dari Golput adalah abstensi dari kata abstain,(bahasa Inggris) yang berarti menjauh. Gerakan itu dicetuskan sekelompok aktivis angkatan, 66 antara lain Imam Waluyo, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan dan Arief Budiman. Mereka mendeklarasikan gerakan moral itu pada 3 Juni 1971, sebulan sebelum Pemilu 1971.
Dalam buku Arief Budiman si tukang kritik profesional, disebutkan salah satu alasan, karena demokrasi telah dipersempit dengan penciutan jumlah parpol. Pemerintah Orde Baru menetapkan hanya 10 parpol peserta pemilu 1971, jauh berkurang dari pemilu 1955 yang ada 172 parpol.
Gerakan (Golput ) itu menganjurkan para pemilih tidak datang ke TPS, atau kalau datang pun, tusuk bagian kertas (kartu suara) yang kosong (putih). Ada memorandum yang mereka bikin berbunyi: “Kalau ada yang merasa lebih baik tidak memilih, bertindaklah atas dasar keyakinan itu”.