Oleh : Widi Garibaldi
KORANMANDALA.COM – Setelah berlawanan arah dengan Jokowi, tiba-tiba saja Ganjar Pranowo, yang Capres nomur urut 3 mematri poin 5 (lima) untuk penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia. Penilaian itu disampaikannya di depan para alumni Universitas Negeri Makassar baru-baru ini.
Penilaian yang kemudian diamini oleh mantan Wapres Yusuf Kalla itu, menurut Ganjar, terjadi karena para Pemangku Kebijakan telah melakukan rekayasa dan intervensi. Telunjuk Ganjar kemudian menuding apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi yang menghebohkan itu. Anwar Usman yang memiliki hubungan keluarga dengan Gibran Rakabuming Raka yang anak sulung Presiden Jokowi, sebagai seorang Paman, sama sekali tak mengindahkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Siapapun dapat membaca dan mengetahui bahwa apabila seorang Hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajad ketiga dengan pihak yang diadili, wajib baginya mengundurkan diri. Anwar Usman mengelak dari ketentuan itu dengan mengatakan bahwa Mahkah Konstitusi itu mengadili Norma bukan Fakta. Rupanya, ia hendak menutup-nutupi kenyataan bahwa perkara yang disidangkannya erat kaitannya dengan kepentingan keponakannya yang ingin maju menjadi Cawapres kendati usianya belum mencapai 40 tahun. Ulahnya yang sangat mencederai penegakan hukum itu, dipersalahkan dengan tegas oleh Mahkamah Kehormatan MK dengan mencopot jabatannya sebagai Ketua MK.
Lain lagi Hashim Djojohadikusumo yang adik kandung Capres Prabowo Subianto. Tiba-tiba saja ia mengungkap cerita lama tentang dugaan korupsi yang terjadi di Kementerian Pertahanan yang sekarang dipimpin oleh kakaknya itu. Apa yang terjadi, menurut Hashim sudah melewati level “gila”. Betapa tidak! Jumlah kontrak mencapai Rp 51 triliun (12 nol !). Ketika diperiksa, harga barang yang akan diadakan berupa senjata (alutsista), ternyata sudah di mark-up ! Nilainya nggak tanggung-tanggung. Harga senjata yang hanya 800 dollar dinaikkan menjadi 10.800 dollar. Jadi setiap senjata di mark-up US $10.000 Itu ekuivalen dengan Rp100.000.000.- (dengan kurs Rp10.000.-).
Wah, rupanya mark-up 5 sampai 10 bahkan 20 % sudah dianggap kuno. Yang terjadi, harga pembelian dinaikkan sampai 1.250 % ! Jadi triliunan rupiah akan dijadikan bancakan. Ramai-ramai mengganyang uang rakyat seperti korupsi penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4 G Kominfo yang mencapai 8 Triliun itu.
Tapi nggak perlu kaget. Kita sedang memasuki proses pemilihan Presiden. Siapapun calonnya, nomor urut 1, 2 maupun 3, pasti menyatakan dirinya nomor satu. Memang tidak akan ada Kecap nomor 2 karena semuanya akan dilihat dengan menggunakan kaca mata politik. Kendatipun mereka memproklamirkan diri sebagai calon terbersih yang akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya atau akan menegakkan hukum tanpa pandang bulu tetapi para Calon itu pastilah menyadari bahwa upaya menegakkan hukum itu bukan pekerjaan selayang pandang yang akan tercapai dengan mengumbar janji di masa kampanye.
Walaupun Pasal 1 ayat (3) Konstitusi kita telah menyatakan bahwa negara kita ini adalah Negara Hukum, tetapi untuk mewujudkannya tidaklah segampang mengumbar janji kepada rakyat di masa kampanye. Menurut Albert Venn Dicey dalam bukunya ‘Introduction to the Study of the Law of the Constitution’, penegakan hukum itu hanya dapat dilakukan manakala negara yang bersangkutan sanggup mengemas dan melaksanakan Supremacy of Law, Equality before the Law dan Human Rights.
Jadi, kalau kita hendak mewujudkan apa yang telah dicanangkan dalam Konstutusi kita itu, maka jadikanlah hukum sebagai panglima. Bukan ekonomi. Apalagi Politik !- ***