Oleh : Eka Purwanto
KORANMANDALA.COM – Beragam sebab melecut dinasti politik. Misalnya, warisan politik, dukungan publik yang kuat terhadap keluarga, atau sistem politik yang memungkinkan konsentrasi kekuasaan dalam tangan sejumlah kecil individu atau keluarga.
Dinasti politik adalah upaya suatu kelompok atau keluarga yang secara berulang-ulang menduduki posisi politik atau kekuasaan dalam jangka waktu yang lama.
Apakah dinasti politik itu baik ? Tergantung ! Bisa bagus, bisa pula negatif. Tergantung bagaimana posisi atau jabatan itu diraih.
Hal itu bisa dikatakan bagus apabila sang anak atau keluarga yang ingin meneruskan warisan bapaknya merintis dari bawah. Melalui perjuangan yang berdarah-darah. Ia harus lolos tahapan seleksi. Ia juga wajib punya etika, integritas dan intelektualitas.
Baca juga: Hukum Adalah Panglima
Posisi Kaesang sebagai ketua umum tak akan membuat orang geleng-geleng kepala jika prosesnya prosedural. Meniti karir dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan pusat.
Kritik terhadap dinasti politik kini marak di sana sini. Itu tersebab syahwat politik yang ingin melanggengkan kekuasaan diduga dilakukan dengan cara nepotisme.
Sampai di sini, kita bisa mengatakan bahwa dinasti politik itu buruk. Dikatakan negatif karena upaya memperpanjang kekuasaan itu dilakukan dengan menafikan sistem yang ada.
Kita sebut saja pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden yang baru-baru ini ramai jadi bahan omongan.
Pencalonannya memang layak jadi trending topic. Sebab, prosesnya diduga melanggar norma hukum. Hal ini terkonfirmasi dengan dipecatnya jabatan paman Gibran dari posisi ketua MK.
Maka tak heran kalau kemudian ada yang menyebut hukum bertekuk lutut di bawah ketiak kekuasaan.