Oleh : Dedi Asikin
KORANMANDALA.COM – Urusan adu jangkrik ternyata sangat menarik. Permainan klitik klitik kepala binatang itu di Cina sudah ada sejak 300 tahun Sebelum Masehi.
Ada temuan arkeologi berupa lukisan jangkrik. Sebelum dinasti Tang (500 SM-608 M), masyarakat di sana senang dan mengagumi suara binatang kecil yang melengking.
Saking trendingnya bahkan ada Kementrian Jangkrik (Pak Sik Soet). Nama menterinya Jia Si Dau. Selama menjabat dia sempat menyusun buku tentang Jangkrik berjudul Cu Zhi Jin.
Kaisar Xuande (1425-1435) lantaran resep mainin si hitam legam itu, dijuluki “kaisar Jangkrik”. Dia sempat dituduh melalaikan tugas karena sering terlena bermain kerik.
Seekor jangkrik bisa ditukar dengan seekor kuda balap yang perkasa. Itu melambangkan betapa tinggi nilai ekonomi dan harga seekor jangkrik.
Pada dinasti Song (960-1278 M) mulai ada permainan Jangkrik dengan tumpangan alias judi. Tiap tahun ribuan ekor jangkrik pilihan dikirim dari desa-desa ke ibukota.
Adu jangkrik bisa membuat orang kaya mendadak tapi juga sebaliknya bisa miskin seketika.
Di Nusantara diperkirakan masuk sekitar abad 19. Sejarawan UI Dwi Cahyono, Denis Lombard dan James Dananjaya sepakat permainan itu dibawa imigran dan pedagang Cina ke Nusantara.
Hal itu dibuktikan dengan keterlibatan mereka sebagai pelaku, (pelihara dan adu jangkrik) yang aktif.
Pulau Jawa dianggap daerah penyebaran yang signifikan. Masa pemerintahan Hamengku Buwono ke VII (1877-1921) marak di wilayah kekuasaan keraton. Bahkan digemari para bangsawan.