Oleh : Eka Purwanto
KORANMANDALA.COM – Tak curang maka tak menang. Dalam setiap pemilu, laku lancung ini hampir selalu mendapat pembenaran, legalisasi semu.
Kita masih ingat kecurangan pemilu tahun 2019. Semua itu jelas sangat terang benderang. Tumpukan kertas dalam kontainer yang dibawa tim Prabowo Subianto waktu itu tak bisa membuktikan kecurangan. Padahal, BPN Prabowo menemukan 1.261 laporan kecurangan pada Pemilu 2019.
Trik licik itu jelas ada. Tapi, (maaf), seperti kentut. Baunya ada tapi sulit dibuktikan wujudnya.
Pemilu 2024 belum dimulai. Tapi isu dugaan kecurangan sudah mulai nampak.
Banyak orang khawatir kecurangan itu bakal melecut ketegangan yang berujung konflik di tengah masyarakat.
Isu kecurangan ini terus menerus digoreng elite politik, makin hangat dan matang. Semua pemain dalam pilpres saling tuding.
Salah satu bagian dari kecurangan adalah soal netralitas. Kata ini gampang dilafalkan, tapi sulit diaplikasikan.
Ada tudingan pengerahan sejumlah kepala desa yang mendukung calon tertentu. Pengerahan itu pasti dimobilisasi. Pengerahan sejumlah organisasi kepala desa itu melanggar aturan.
Pasal 490 UU No. 7 tahun 2017 menyebutkan; “Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah)”.
Kepala desa boleh punya pilihan. Tapi tak baik jika menggalang kekuatan untuk dukung mendukung. Mereka harus netral. Apalagi mereka dilibatkan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai panitia pemungutan suara (PPS).
Selain kepala desa, ASN, TNI dan Polri diharap tidak bermain politik. Mereka sebaiknya netral. Tak boleh condong ke kiri atau pun ke kanan. Mereka harus tegak lurus pada aturan. Mereka wajib terbebas dari keberpihakan.
Ingat! Presiden telah mewanti-wanti. “Jangan miring-miring”. Miring dikit alamat diganti.
Sayangnya, aturan tinggal aturan. Ketidaknetralan itu, belakangan ini malah semakin terlihat nyata.
Banyak ASN yang melanggar. Berkampanye di dunia maya. Mereka juga menjadi member grup atau akun yang mendukung peserta pemilu.
Belum lama ini kita disuguhi tontonan tak sedap. Dalam tayangan video di grup Whatsapp, sebuah mobil bak terbuka tertangkap tangan sedang mengangkut baliho capres-cawapres.
Saya jadi teringat sebuah lagu; “Ooh ooh kamu ketahuan, bla bla”.
Mobil itu berplat nomor merah. Pastinya, kendaraan ini milik pejabat di sebuah instansi. Artinya, ada kecurangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Inilah bukti, pejabat atau kepala daerah yang direkomendasikan oleh partai politik seringkali ikut campur dalam mendukung calon tertentu. Ini bahaya karena akan mengancam netralitas ASN.
Jika pemimpinnya saja sudah tak netral, bagaimana mungkin kita berharap netralitas dari bawahannya.
Kualitas pemilu akan meningkat jika prinsip netralitas ditegakkan.
Inilah tugas kita bersama untuk menjaga pemilu berlangsung secara demokratis, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.- ***