0Leh. Wdi Garibaldi
TRUST masyarakat sepenuhnya tumpah ruah kepada lembaga baru yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi, begitu Presiden Megawati Soekarnoputeri pada tanggal 27 Desember 2002 membubuhkan tanda tangan sebagai tanda berlakunya UU No. 32 tahun 2002.
Berdirinya KPK, dipacu akibat lembaga-lembaga Pemerintah, Kepolisian dan Kejaksaan, yang diberi kewenangan untuk memberantas tindak pidana korupsi dinilai letoy tak mampu memberantas perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Akibat merajalelanya perbuatan durjana itu, pembangunan Nasional menjadi terhambat.
Korupsi di masa Orde Lama digambarkan masih terjadi di bawah meja. Pada masa Orde Baru, korupsi itu sudah dilakukan terang-terangan. Bukan lagi di bawah meja, melainkan di atas meja. Mereka yang korupsi, tak lagi punya malu. Bahkan, siapa yang tak melakukan perbuatan pat gulipat itu, dianggap bodoh, tak mampu memanfaatkan kesempatan yang menganga. Menjelang Reformasi, perbuatan hina dina itu semakin parah. Para Koruptor tak lagi beraksi di bawah atau di atas meja, melainkan mejanya sekalian diboyong. Hal tersebut terjadi karena lembaga-lembaga Pemerintah yang ditugasi memberantas korupsi semakin memble.
Melihat kenyataan itu, kelahiran KPK disambut penuh suka cita. Lembaga baru ini diharapkan dapat menjadi trigger agar Kejaksaan dan Kepolisan bangun dari tidurnya. Kewenangan istimewa diberikan kepada lembaga baru ini. Kemacetan atau stagnasi proses pemberantasan korupsi di Kejaksaan atau Kepolisain, dapat diambil alih.
Pada tahap awal, di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki yang purnawirawan Polisi berbintang 2, KPK menjelma menjadi lembaga pemberantas korupsi yang berwibawa. Disegani dan ditakui Disiplin yang dijungjung tinggi tidak hanya menjelma ke luar lembaga, tetapi amat terasa juga secara internal.
Cerita Ajun Komisaris “S”
Komisaris “S” adalah seorang anggota Polri. Sebagai anggota Polri, ia ditugaskan di KPK. Sebagai Penyidik Fungsional KPK, sekitar bulan Maret tahun 2006, ia diterjunkan dalam pengusutan perkara pelepasan aset PT Industri Sandang Nusantara yang bermasalah. Tanah industri sandang milik negara itu dijual di bawah harga NJOP hingga merugikan keuangan negara miliaran rupiah. AKP “S” memanfaatkan situasi. Ia memeras TS, agen biro jasa yang mengatur penjualan tanah itu.
KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi tak mau dipermalukan. Kendati orang dalam, AKP “S” tetap diproses. Akirnya ia harus meringkuk di penjara selama 8 tahun.
Nama baik KPK sebagai Komisi Pemberantas Korupsi, saat ini kembali tercoreng. Corengan di muka KPK begitu jelas dan kentara. Kalau dulu orang dalam yang terlibat hanya seorang Penyidik,kini ketuanya dipersangkakan melakukan pemerasan. Sebagai Tersangka, Firli Bahuri yang Komisaris Jenderal Polisi, dicopot sementara oleh Presiden. Itu memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU 19 tahun 2019 yang menyatakan “dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”.
Paksaan psikis
Ketika memutus perkara kasasi AKP “S”, Mahkamah Agung menyatakan bahwa perwira pertama Polisi itu telah melakukan paksaan secara psikis berupa pemerasan dan pemberian gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji. Hal yang sama nampaknya dilakukan juga oleh Firli Bahuri terhadap mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo.
Kalau AKP “S” diganjar 8 tahun, Firli Bahuri dapat mereka-reka hukuman apa yang harus dihadapi dan dijalaninya. Ia adalah seorang Jenderal Polisi.Bintang Tiga. Yang paling memilukan, ia adalah seorang Ketua lembaga yang dibentuk khusus untuk memberantas korupsi, tetapi justru dituduh melakukan korupsi. Hal ini belum pernah terjadi !
Sungguh, upaya mantan Ketua KPK itu untuk lolos dari ancaman hukuman penjara seumur hidup, sangat menarik untuk dicermati. ***