OLEH: WIDI GARIBALDI
Nggak ada hujan, ngga ada angin, tiba-tiba saja nama pejabat itu dilengkapi predikat Profesor alias Guru Besar. Namanya Profesor kehormatan. Hal itu dimungkinkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan,Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi No. 38 Tahun 2021. Peraturan Menteri ini, mendelegasikan kewenangan pemberian gelar kehormatan itu dari Mendikbud kepada Perguruan Tinggi.
Tidak semua Perguruan Tinggi dapat mengemban amanat Menteri itu dengan baik. Banyak pejabat yang baru saja menduduki kursinya, tiba-tiba bergelar tambahan Profesor. Kata banyak orang, pemberian gelar itu berbau transaksional. Ambil sebagai contoh, mantan Sekretaris Mahkamah Agung,HH. Begitu menduduki jabatan strategis itu, iapun menyandang gelar Profesor. Gelar itu diperolehnya dari suatu perguruan tinggi, di daerah tempat kelahirannya, Lampung.
SYL, contoh lain. Begitu menduduki jabatan Menteri Pertanian, ia memperoleh gelar kehormatan Profesor dari suatu PTN di Makassar. Lain lagi dengan AQ, pejabat pemeriksa keuangan di BPK. Sebuah PTN terbesar di Surabaya mengukuhkannya dengan gelar Profesor. Begitu juga dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang akhir-akhir ini lebih akrab dipanggil Paman Anwar karena menjadikan keponakannya, Gibran yang anak sulung Presiden Jokowi lolos dari ketentuan usia untuk menjadi Cawapres. Sang paman, juga menyandang gelar Profesor yang diperolehnya dari suatu universitas swasta di Semarang.
Seharusnya dicopot
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Permendikbud itu, gelar Profesor yang disandang baik oleh HH maupun SYL, AQ maupun Oom Anwar seharusnya sudah dicopot. Mereka yang mendapat sanksi etik sedang atau berat, sanksi disiplin sedang atau berat, sanksi pelanggaran integritas akademik dan/atau sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, seharusnya diberhentikan. Baik HH, SYL maupun AQ kini berada di balik jeruji besi. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena menerima suap, pembayaran,hadiah,janji yang bertentangan dengan tugasnya. Sedangkan Oom Anwar dijatuhi hukuman pelanggaran etik berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Mengapa hingga kini perguruan tinggi yang menganugrahkan gelar kehormatan itu tidak juga merekomendasikan pencabutan gelar kehormatan yang pernah dipersembahkannya, memperkuat dugaan bahwa penganugrahannya tempo hari didasari kesepakatan tertentu.
Jabatan bukan gelar
Permendikbud No. 38 Tahun 2021 tentang “Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi”, sebenarnya telah menunggangbalikkan asas bahwa Profesor itu bukanlah gelar, malainkan jabatan. Jabatan di Perguruan Tinggi yang baru dapat dijangkau seorang dosen setelah menapaki jenjang Asisten Ahli, Lektor dan Lektor Kepala. Sebutan Guru Besar itu baru dapat diperolehnya, manakala ia telah menyelesaikan pendidikan di strata 3 (S 3) dan minimal 10 tahun sebagai dosen. Permohonan menjadi Guru Besar baru dapat diajukannya setelah 3 tahun menyandang gelar Dr. Sebagai dosen , angka kredit dosen utama (KUM) yang harus dimilikinya, minimal 850 atau di angka 1.050. Memenuhi persyaratan yang melelahkan ini, dianggap belum cukup. Si Calon Guru Besar harus sanggup mempublikasikan publikasi ilmiah ke dalam jurnal internasional bereputasi yang terindeks di dalam Scopus sebagai penulis pertama.
Sungguh berat dan melelahkan. Tidaklah mengherankan manakala ratusan dosen di suatu Perguruan Tinggi Negeri ternama di Jogyakarta pernah ramai-ramai menolak pemberian gelar profesor kehormatan kepada pejabat publik itu.
Kenyataan menunjukan bahwa pemberian gelar itu diberikan karena “sesuatu” dan digunakan oleh yang bersangkutan untuk pamer, menunjukkan ke “aku”annya.