Oleh : Dedi Asikin
KORANMANDALA.COM – Transmigrasi itu secara ilusi adalah gambar kemiskinan. Kekurangan harta dan kemelaratan.
Dorongannya faktor politik atau keroncong cacing dalam perut, sama saja. Sami mawon, just the same. Bisa saja simbiosis mutualisme. Masyarakat butuh, pemerintah mau. Jadilah tu barang.
Tahun 1893 pemerintah kolonial Belanda butuh tenaga kerja. Perkebunan tebu, kopi dan kakao mereka di Suriname terbengkalai dan terancam.
Sabab musababnya adalah antara lain adanya penghapusan perbudakan di Amerika latin. Karena situasi itu Belanda membebaskan/memerdekakan sekitar 33 ribu pekerja budak belian.
Nah di Indonesia, khususnya pulau Jawa, banyak tenaga nganggur. Mereka golongan masyarakat rendah yang sedang menderita, antara lain akibat meletusnya gunung Krakatau di selat Sunda tahun 1883.
Otak tuan mancung memang brilian. Kepada penduduk yang perutnya lagi keroncongan ditawarkan seolah olah itu solusi untuk memperbaiki ekonomi.
Maka diberangkatkanlah mereka menempuh perjalanan laut yang panjang. Konon bisa mencapai waktu 3 bulan. Edun suredun, ituh.
Suriname adalah tanah jajahan Belanda yang lain, terletak di bagian timur laut Amerika Selatan.
Berbatasan dengan Brazil di sebelah Selatan, di sebelah timur dengan Perancis, barat dengan Guyana Inggris dan di Utara membentang lautan Atlantik.
Lahan seluas 400 x 400 m atau tepatnya 163.324 km2 itu ditanami kebon tebu, kopi dan kakao. Tanaman itu harus diurus. Tentu saja butuh tenaga kerja.
Sampai tahun 1939, ada sekitar 34 ribu (tepatnya 34.185) penduduk pulau Jawa (dari Surabaya, Semarang dan sekitar Jayakarta yang diberangkatkan secara bertahap.