Selain di kebun-kebun, mereka juga dikerjakan dipabrik gula dan pertambangan bouxiet.
Sistem yang digunakan adalah kontrak kerja selama periode 5 selesai kontrak mereka boleh pilih, memperpanjang kontrak, kembali ke tanah air atau menjadi warga negara Belanda dan tinggal di daerah jajahan yang sudah diberi status otonomi.
Ternyata menurut catatan, diantara mereka itu hanya sekitar 25 persen (tepatnya 8.150 orang) pada tahun 1946 dan 700 orang tahun 1947) yang bisa kembali ke tanah air. Selanjutnya gerakan mulih Ning Djowo terhambat karena hubungan Indonesia dengan Belanda memburuk pasca perang dunia kedua.
Mereka para repatrian yang kembali itu ditempatkan di desa Tongar kabupaten Pasaman provinsi (waktu itu) Sumatera Tengah.
Mereka tidak bisa kembali ke Jawa dengan alasan kepadatan penduduk pulau Jawa.
Sisanya tertahan di Suriname.
Ada sebagian yang ke negara Belanda dan menetap di sana. Yang di Suriname menetap dan beranak pinak di sana.
Ada 4 distrik yang merupakan perkampungan komunitas keturunan Jawa. Distrik Commewigne, Sarramaca, Corronie dan Nickere.
Di sana mereka hidup bersama etnis lain. Ada Hindustan dari Calcutta India, Creole dari Afrika yaitu keturunan budak belian yang ketika dimerdekakan memilih tetap tinggal di Suriname. Juga ada etnis China yang masuk tahun 1853.
Jumlah etnis Jawa sekarang ada sekitar 80 ribu orang (14 % dari jumlah seluruh penduduk Suriname sekitar 560 ribu.
Yang patut diacungi jempol adalah sikap mereka mempertahankan adat istiadat Jawa, menyangkut budaya, adat dan tatakrama.