Dalam aspek budaya, di sana ada Tayuban, wayang kulit, wayang orang dan jenis kesenian lainnya. Juga pecel Jawa tetap menjadi makanan favorit. Malah juga disenangi warga non Jawa.
Mereka juga mempertahankan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Belakangan kadang tersisipi bahasa Belanda dan Spanyol menjadi bahasa gaul.
Untuk itu mereka mendirikan Veregening Herde king Javanese Immigrate (VHJI) untuk merawat adat istiadat tanah leluhur. Mereka juga tak pernah lupa kampung halaman di Jawa.
Ada adagium mulih ning Djowo, yaitu gerakan ingin pulang ke tanah leluhur di Jawa. Untuk urusan itu dibentuk Yayasan Tanah Air dipimpin Wagno Kersodiredjo dan Salikin Hardjo.
Hubungan dengan kerabat di Jawa dilakukan lewat telepon. Di zaman digital digunakan washapp, e-mail dan lain lain.
Bagi yang mampu, kadang-kadang langsung pulang ke kampung halaman.
Mantan Menteri Dalam Negeri Soewarto Mustadja ketika hadir dalam sebuah diskusi di Jakarta tahun 2018, berkata dalam bahasa Jawa, “Awake dhewek mbendino mimpi mulih ning Djowo”.
Pasca kemerdekaan Suriname tahun 1975 banyak warga keturunan Jawa yang terjun ke dunia politik. Ada beberapa partai politik yang lahir. Ada partai Pendawa Lima dipimpin Raymond Sakoen, Percaya Luhur, Kaoem Tani Persatoean Indonesia KTPI dipimpin Iding Soemita, Partai Bangsa Indonesia Suriname, PBIS dipimpin Salikin Hardjo. Mereka adalah keturunan Jawa generasi ke tiga.
Pasca kemerdekaan setidaknya ada 5 orang tokoh politik etnis Jawa yang berhasil menduduki jabatan menteri. Antara lain Hendrik Sestrowidjojo, sebagai Menteri Pertanian Peternakan dan Perikanan, Gin Marto Kertoseno Mentri Pembangunan Infrastruktur dan Pengolahan Tanah, Soewarto Mustadja Menteri Dalam Negeri dan Iswanto Adna Menpora.
Selain itu ada 30 orang menjadi anggota DPR. Bahkan tahun 2016 ketua partai Pendawa Lima, Raymond Sakoen, mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, meski kalah oleh tokoh politisi etnis Creole.