KORANMANDALA.COM – Sejarah dan jalan panjang telah direntang kaum perempuan, sebelum mendapatkan pengesahan Hari Ibu, tanggal 22 Desember.
Sejak ada gerakan kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908, kaum perempuan telah tersadarkan. Perjuangan kemerdekaan, bukan hanya kewajiban kaum Adam. Itu juga tugas dan panggilan bagi kaum perempuan. Emak emak mulai sadar bahwa tugas mereka bukan yang sekedar kodrati, melayani suami, mengandung, melahirkan dan mengurus anak ditambah masak di dapur.
Sejak lama sudah banyak perempuan yang berjuang. Yang konsern di bidang pendidikan, ada Raden Dewi Sartika di Bandung, Rohana Kudus dan Rangkayo Rasuna Said di Sumatera Barat dan Kartini di Jawa. Selain itu ada juga yang angkat senjata ikut perang melawan dan mengusir penjajah. Di sana ada Laksamana Malahayati atau Keumalahayati. Dia itu menjadi Laksamana perempuan pertama tak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia.
Kemudian masih dari Aceh tampil dua pejuang perempuan yang tangguh dan gagah berani. Mereka adalah Cut Nyak Dien dan Cut Meutia.
Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan suaminya Teuku Umar yang tewas dalam perang melawan Belanda.
Karena dianggap membahayakan bagi kemanan pemerintah Belanda, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang Jawa Barat dan meninggal di sana .
Demikian halnya dengan Cut Meutia. Dia mengalami cacat fisik setelah 3 butir peluru menembus tubuhnya.
Dan akhirnya tewas dalam sebuah kontak senjata dengan tentara Belanda.
Di Minahasa ada Walanda Maramis dan di Maluku ada Christina Martha Tiahahu.
Kaum perempuan juga berjuang melalui politik dengan membentuk organisasi perserikatan perempuan.