Ada perserikatan Wanito Utomo, Wanita Taman Siswa, Pasundan Isteri, wanita Katholik, Aisiyah, Putri Indonesia, Yong Java Dames Afdeling, Wanita Yong Islamenten Bond dan lai-lain.
Tokoh tokoh perempuan waktu awal awal pergerakan ada; Ny. RA Sukanto, Siti Munjiah, Ny. Sunarjati Mangunpuspito, Sunaryati Sukemi. Ny. Ki Hadjar Dewantara, Ny. Dirjowongso dan lan-lain.
Kongres wanita pertama berlangsung di gedung Dalem Yudopuran Yogyakarta tanggal 22 sampai 25 Desember 1928. Kongres itu antara lain menyepakati pentingnya persatuan diantara perserikatan perempuan. Maka diputuskan pula pembentukan organisasi yang diberi nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
Setahun kemudian (1929) dalam kongres istimewa, nama itu dirubah menjadi Perserikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII).
Dalam Kongres ke II di Jakarta (22-25 Juli 1935) yang dipimpin Ny. Sri Mangunsarkoro dibicarakan mengenai perburuhan perempuan, pemberantasan buta huruf dan masalah perkawinan.
Pada kongres itu juga diputuskan pergantian nama lagi dari Perkumpulan Perserikatan Isteri Indonesia (PPII) menjadi Kongres Perempuan Indonesia (KPI).
Kongres ke III (1938) berlangsung di Bandung dipimpin Ny. Ema Puradiredja. Keputusan yang penting antara lain menyiapkan konsep RUU Perkawinan yang disusun oleh Ny. Maria Ulfah. Satu lagi yang krusial yang diputuskan dalam kongres itu, tanggal 22 Desember (momen Kongres pertama) menjadi Hari Ibu yang harus selalu diperingati oleh seluruh perserikatan perempuan Indonesia.
Dalam Kongres ke IV di Semarang, diputuskan penggantian nama dari Kongres Perempuan Indonesia menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Tahun 1957 pengurus Kowani menemui Presiden Sukarno di istana negara. Yang dibicarakan adalah mendesak pemerintah agar menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari ibu.
Konon pembicaraan itu didahulu protes Kowani atas rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada RA Kartini, sekaligus menetapkan tanggal 21 April (1879) menjadi hari besar (Raya). Kowani mempertanyakan kenapa cuma Kartini ? Bagaimana dengan Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan Rangkayo Rasuna Said. Bagaimana pula dengan Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Walanda Maramis dan Christina Martha Tiahahu ? Mereka juga berjuang, lebih dulu dan lebih keras. Ini bukan persoalan iri hati. Ini soal keadilan, apresiasi dan penghargaan negara kepada mereka yang telah berjuang untuk negara.