Bung Karno yang sempat bingung , menjelaskan bahwa penetapan hari Kartini itu sudah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1939. Itu terjadi terkait dengan adanya politik etis yang diluncurkan Pemerintah Nederland waktu itu.
Politik etis itu adalah sikap apresiatif dan penghargaan Pemerintah kepada warga pribumi (inlader) yang berkinerja positif. Tentu saja dipandang dari kacamata dan kepentingan pemerintah.
Dalam hal Kartini yang dinilai Pemerintah (Kolonial), adalah isi surat surat putri bupati Jepara itu kepada sahabat sahabatnya yang hampir semua kulit putih.
Ada Estella atau Stella Zeerhandelar, Pieter Sijthoff Residen Jepara, Marie Ovink istri wakil residen Jepara, Helda Gerarda de Boy, Rosa Manuella Abendanon. Yang terakhir itu adalah isteri dari Henry Abendanon yang waktu itu menjadi Kepala Jawatan Pendidikan dan Agama, pemerintah kolonial.
Abendanonlah pula yang menyusun surat surat Kartini menjadi sebuah buku yang diberi judul “Door duisternis tot licht” (Habis gelap terbitlah terang) yang kesohor itu.
Bung Karno sempat bingung suringung. Kan tidak mungkin membuat hari besar berdasarkan tanggal kelahiran banyak orang.
Piraku di samping hari Kartini ada lagi Hari Malahayati, Hari Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Walanda Maramis, Christina Martha Tiahahu dan lain lain.
Tapi namanya juga Bung Karno. Percuma dapat julukan orator ulung, diplomat yang pandai berkelit dan singa podium, jika kalah lawan emak emak mah. Dan itulah yang terjadi. Bung Karno cukup anggukan kepala, setuju keluarkan Keputusan Presiden tentang Hari Ibu.
Dan tak pake lama, Kepres No.316 tahun 1959 pun meluncur menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu. Selesai lah itu perkara. Sejak tahun 1959, tiap tanggal 22 Desember diperingati (bukan libur) sebagai hari ibu.
Selamat hari ibu 2023 dengan Thema “Wanita Berjaya Indonesia Maju”.- ***