Oleh : Dedi Asikin
KORANMANDALA.COM – Etika itu sumber dasar kehidupan. Etika itu pancaran jiwa dan moralitas. Semua kesepakatan yang berbentuk peraturan perundang-undangan, berasal dari etika, orang per orang dan kelompok masyarakat. Pancasila yang menjadi palsafah hidup, menjadi the way of live bangsa Indonesia adalah himpunan dari etika bangsa yang dikemas menjadi lima sila.
Pun demikian semua peraturan perundang-undangan, adalah ikatan etik yang dikumpulkan menjadi kesepakatan aturan berkehidupan, berbangsa dan bernegara.
Secara kebahasaan etika itu berasal dari kata “ethos” atau dalam bentuk jamaknya “ta eta,” bahasa Yunani yang berarti kebiasaan atau tata cara.
Etika itu dapat diibaratkan aliran sungai yang bermata air dari pegunungan. Awalnya bening dan bersih. Tapi kemudian makin ke hilir makin keruh dan tercemar.
Pencemar itu adalah pelanggar etika kehidupan. Peraturan perundang-undangan itu dibuat untuk menjaga kebersihan etika. Ibarat menjaga kebersihan aliran sungai itu.
Orang siapapun dia harus siap menerima perlakuan atau sikap orang lain atau negara jika melanggar etika. Apalagi melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan.
Sebuah contoh dari resiko sikap orang lain atas pelanggan etika yang terjadi belakangan ini dialami Gibran Rakabuming Raka.
Ketika banyak orang menganggap dia telah melakukan pelanggaran etika maka dia harus siap menerima perlakuan dan sikap orang lain.
Sikap itu bisa berupa koreksi, nasihat, atau cemooh dan cibiran. Bahkan juga caci maki. Bahkan juga upaya penerapan hukum.