Sebaiknya KPU bikin aturan atau setidaknya anjuran agar para debater tidak terlalu banyak menggunakan istilah istilah asing, hanya karena mau dianggap pinter.
Memang hampir semua pemilu sepanjang sejarah republik ini, hingar bingar itu selalu terjadi.
Saya mencatat pemilu 1971 tak luput dari hiruk pikuk dan kecurangan. Money politik memang belum terdengar. Yang ada sebatas relasi kuasa yang menghilangkan netralitas.
Itu terjadi antara lain karena pemerintah orde baru dibawah Presiden Suharto sedang menancapkan hegemoni kekuasaan. Partai politik diciutkan menjadi hanya 10 saja.
Bandingkan dengan pemilu 1955 yang diikuti 154 parpol. Pemilu pertama pasca kemerdekaan itu dinilai paling bersih dan demokratis. Tapi efeknya mereka sulit bersepakat. Terlalu bebas berbicara, sulit mencari solusi.
Akhirnya presiden Sukarno mengambil langkah. Peristiwa itu merupakan tonggak sejarah yang bertahan sampai sekarang. Tak lain adalah dekrit presiden 5 Juli 1959. Kembali ke UUD 1945.
Apa boleh buat, Pemilu berikutnya parpol lebih diciutkan lagi menjadi cuma dua masing masing satu berbasis nasional (PDI) satu agama berbasis agama (PPP). Satu lagi kelompok kekaryaan (Sekber Golkar).
Menggunakan semboyan demokrasi Pancasila, Presiden Suharto membuat skenario untuk kemenangan Golkar yang akan dijadikan kuda tunggang hegemoni Suharto dipuncak kekuasaan.
Tahun 1971 itu dikeluarkan Kepres 82 tahun 1971 tentang pendirian Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri). PNS dijauhkan dari jangkauan partai politik. Sebaliknya PNS dan keluarga ditarik ke Sekber Golkar.
Dalam pemilu 1977 Korpri dan keluarga menyumbang 10 juta suara untuk Golkar. Golkar hampir menang mutlak dengan 62,3% (232 kursi) di DPR.