Oleh : Dedi Asikin
KORANAMANDALA.COM – Susah dinafikan, anggapan banyak orang bahwa Presiden Jokowi telah menampakkan keberpihakannya dalam kontestasi pilpres 2024. Ketua umum Projo (relawan Jokowi) Budi Ari Setiadi menyebut sudah jelas. Tak perlu diperjelas ke lagi.
Sejumlah petinggi TKN (Tim Kemenangan Nasional) atau Tim Sukses Paslon norut 2, Prabowo- Gibran, juga mengakui hal itu. Dan itu dalam sudut pandang mereka adalah wajar. Di manapun seorang bapak pasti mendukung anaknya. Apalagi anak yang kaya peribaratan Sunda “Teng mabuk teng, anak merak kukuncungan”. Mengikuti dan mewarisi jejak sang ayah. Inilah yang disebut banyak orang keripik digulaan, republik rasa kerajaan.
Mereka tak hirau pada perasaan orang orang TPN , tim suksesnya Ganjar-Mahfud yang sakit hati ditinggal pergi Jokowi tanpa permisi. Emang gue pikirin ! Begitu tersirat di wajah Nusron Wahid salah satu petinggi TKN.
Tapi TPN dan juga banyak orang menganggap sikap dan langkah Jokowi tidak terpuji dan tak selayaknya terjadi . Posisi dia sekarang masih sebagai presiden. Sebagai negarawan Presiden seharusnya bersikap netral. Tidak kemana mana, tapi justru harus mendukung semua calon tanpa ada perbedaan perlakuan.
Perilaku bias begini akan berpengaruh kepada perintahnya kepada ASN, Polri dan TNI agar bersikap netral.
Sikap itu akan ditanggapi bahkan dicap sebagai “telunjuk lurus kelingking berkait”. Menyuruh orang ke utara, tapi bapak ke atau paling tidak ke tenggara. Bias dan gak jelas. Keluar dari tatakrama arif dan bijaksana.
Maka itu tak heran jika diam diam ada (oknum) Polri dan TNI begitu juga ASN ada yang berpihak ke salah satu kubu paslon.
ASN itu sudah sejak lama menjadi incaran partai partai politik. Jumlahnya yang banyak apalagi ditambah keluarga dan orang orang di sekelilingnya yang bisa disentuh dengan relasi ada relasi kuasa, ataupun pertemanan belaka, merupakan lumbung suara bagi partai politik. Sekber Golkar dengan politik bias dan telunjuk lurus kelingking berkait itu pernah mendapatkan 10 juta suara (dalam pemilu 1977) dari Korpri yang pasca Kepres 82 tahun 1971 menjadi satu-satunya organisasi PNS (sekarang ASN).
Membangun netralitas yang murni bagi ASN memang tampak tidak terlalu mudah. Di setiap pemilu, pilpres atau pilkada pemihakan atau ketidak netralan itu selalu ada. Ada yang ketangkap radar, dan kena semprit wasit, tapi ada juga yang pandai bermain aman dan damai saja. Caina herang laukna beunang.
Golkar yang sekarang secara institusi tidak bisa bermain lagi dengan Korpri. Tapi melalui relasi kuasa yaitu menggunakan kelingking berkaitnya presiden Jokowi, Golkar masih bisa berkerling mata dengan para ASN. Bahkan juga dengan (oknum Polisi dan TNI). Apalagi Golkar sekarang berada dalam KIM, koalisi yang didukung Jokowi.