Mereka itu harus jeli, meski telunjuk pak lurah itu lurus ke depan tapi tengoklah kemana kelingkingnya berkait.
Sesungguhnya sejak dulu, larangan keberpihakan PNS dalam organisasi politik itu sudah ada. Tahun 1959 ada Kepres no. 2 tahun 1959. Dalam Kepres itu ada larangan bagi pejabat negara/pemerintahan masuk/terlibat dalam politik.
Lalu ada UU No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian. Pasal 10 ayat 3 UU itu menyebutkan “Bagi sesuatu golongan dan atau sesuatu jabatan yang karena sifat-sifat tugasnya, dapat diadakan larangan masuk organisasi politik.
Jadi, dalam UU itu larangan bersifat fakultatif khusus bagi jabatan jabatan tertentu saja. Berbeda dengan ABRI dan Polri, larangannya jelas sekali. Mereka sama sekali tidak boleh bersentuhan dengan parpol.
Sampai pada keberadaan UU 18/1961 larangan berpartai politik bagi PNS itu masih terasa lunak dan parsial. Hanya golongan dan jabatan tertentu saja. Untuk mengaturnya, UU 18 memungkinkan dikeluarkan PP atau Kepres.
Karena itu sampai peristiwa G30S PKI tahun 1965, organisasi buruh yang berafiliasi ke parpol masih dibolehkan hidup. Mereka seperti Sarbumusi, Gasbiindo, SB Postel, SBKA dan lain-lain, masih berada. Setiap pemilu mereka berlomba lomba mendulang suara PNS dan keluarganya. Serikat Sebagai Sekerja yang independen masuk Sekber Golkar yang dianggap organisasi kekaryaan (bukan parpol).
Ketika terjadi G30/ PKI banyak pimpinan dan anggota Serikat Buruh yang berafiliasi ke PKI terkena tindakan. Mereka ada yang dipecat, atau diadili. Bahkan ada yang ikut dibuang ke pulau Buru di Maluku.
Kemudian UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai politik dan Golongan Karya masih mentolelir PNS menjadi anggota parpol. Pasal 8 ayat 2 huruf a UU itu menyebutkan, PNS diperbolehkan menjadi anggota Partai Politik tapi harus setahu pejabat yang berwenang di instasi yang bersangkutan. Sementara bagi pejabat tertentu, untuk menjadi anggota partai politik harus mendapat izin (tertulis) dari pejabat berwenang.
Peraturan yang lebih tegas yang melarang PNS menjadi anggota parpol ada pada PP No. 5 tahun 1999. Menurut PP itu, PNS yang saat keluarnya PP itu masih menjadi anggota parpol, diharuskan mengundurkan diri (dari parpol) dan melaporkan diri kepada pejabat berwenang dalam tempo 3 bulan.
Jika dalam 3 bulan dia tidak mengundurkan diri (dari parpol itu), maka dia diberhentikan sementara dengan mendapatkan uang tunggu. Jika dalam waktu 3 bulan dia mundur dari parpol maka dia dapat diaktifkan kembali.