OLEH: WIDI GARIBALDI
Arena perpolitikan kita di Tanah Air, akhir-akhir ini diramaikan dengan usulan “Petisi 100” kepada Menkopolhukam untuk memakzulkan (to impeach) Presiden. Apa yang diusulkan oleh Petisi 100 itu bukanlah hal sederhana, karena impeachment terhadap Presiden harus melalui jalan yang berliku-liku dan melibatkan 3 lembaga tinggi negara.Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, ketiga lembaga itu harus secara aklamasi menyuarakan suara yang sama : Impeach Presiden !
Bila ditilik, lembaga tinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat itu sendiri, terdiri dari anggota-anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan DPR. DPD itu,konon dibentuk untuk memenuhi keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijaksanaan di tingkat Pusat.Beruntunglah mereka yang kebetulan memperoleh suara dari rakyat untuk menjadi anggota DPD ( di AS dikenal sebagai Senator), karena fungsinya hanya sekedar pelengkap penderita, untuk membuktikan bahwa negara kita ini benar-benar negara demokratis. Walau sekedar pelengkap penderita tetapi sang Senator memperoleh fasilitas lengkap dari negara, kendati hanya “ongkang-ongkang kaki”. Tak mengherankan kalau Jimmy Assidiqqi, anggota DPD mewakili DKI pernah menyarankan agar dewan ini dibubarkan saja, karena keberadaannya hanya menghabis habiskan uang rakyat belaka !
PRESIDEN SALAH APA?
Kembali ke urusan pemakzulan Presiden. Menurut Pasal 7 A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seorang Presiden dan/atau Wakilnya dapat di impeach manakala telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum berupa pengkhianatan negara,korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya dan perbuatan tercela atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kalau Menteri atau Gubernur cukup KPK atau Polisi yang membuktikannya, maka tuduhan-tuduhan telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dibuktikan melalui jalan yang amat panjang. Pertama-tama, DPR mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ini diharapkan dapat memeriksa,mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum sebagai mana diatur di dalam Pasal 7 A Konstitusi. Apakah MK mampu melakukan prosedure pemeriksaan mulai dari penyelidikan-penyidikan-penuntutan-hingga memutus perkara sebagaimana dilakukan oleh KPK/Kepolisian,Kejaksaan dan Pengadilan ? Atau MK harus meminta bantuan lembaga-lembaga pelaksana itu ? Itu semua belum diatur dalam undang-undang !
Langkah pertama memang baru dimulai. Tetapi sudah tersandung pada kerikil,ketiadaan undang-undang ! Anggap saja krikil itu tidak pernah ada. Permintaan DPR kepada MK itu tentu harus didukung sekurang-kurangnya oleh 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, yang jumlahnya tidak kurang dari 575 orang. Seandainya semua ok, lembaga Legislatif ini meneruskan usul pemakzulan itu ke MPR. Paling lama dalam sebulan, lembaga yang dulu kita kenal sebagai lembaga tertinggi ini akan melakukan sidang paripurna. Artinya, harus dihadiri sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota ( 711 orang. 575 DPR + 136 anggota DPD) dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Nah, itu semua muskil, bukan ?***