OLEH : WIDI GARIBALDI
Dalam suatu diskusi di kelas, seorang mahasiswa dari Bone menceritakan betapa penduduk di kampungnya tak sabar menanti masa kampanye. Masa kampanye dianggap masa indah, dapat penghasilan tambahan. Sebagai penggarap sawah, penduduk yang merasa penghasilannya pas-pasan, dengan tibanya masa kampanye, berkesempatan membeli kebutuhan selain untuk keperluan dapur.
Mahasiswa lainnya menimpali bahwa penduduk di daerahnya semakin menyadari kalau suaranya tidak untuk diobral. Suaranya, ternyata dapat menempatkan seseorang jadi pemimpin, jadi wakil rakyat. Kalau tidak jadi Wakil Rakyat atau Senator di Senayan, jadi anggota DPRD di propinsi atau kabupaten/kota. Tidaklah mengherankan kalau penduduk desa yang sudah menyadari nilai suaranya, tak segan-segan melontarkan tanya : Wani piro ? Berani bayar berapa satu KTP, satu suara ?
FENOMENA SOSIAL
Dua suku kata yang berasal dari bahasa Jawa itu, kini sudah amat populer. Terutama terlontar menjelang dan selama masa kampanye seperti Pemilu serentak yang akan berlangsung tanggal 14 Februari ini. Pemilu yang tinggal beberapa hari lagi, gencar dimanfaatkan oleh mereka yang sedang bertarung untuk memperoleh kursi sebagai Wakil Rakyat di tingkat Pusat maupun Daerah.
Menjelang Pemilu, tiba-tiba saja kampung,desa,lingkungan hingga kota jadi ramai. Bukan hanya diramaikan baliho dan umbul-umbul , tetapi mereka yang menamakan diri sebagai konsultan politik atau anggota tim sukses mundar mandir, dengan menebar senyum mendatangii setiap penduduk. Supaya lebih mudah, dengan berbagai dalih,penduduk dikumpulkan untuk kemudian diperkenalkan dengan tanda gambar tertentu, nomor tertentu. Tentu saja tidak terlalu mudah mengumpulkan kerumunan orang. Tetapi dengan mengadakan pembagian beras, minyak yang dikemas sebagai bantuan sosial, tak ada yang mau ketinggalan untuk menghadiri acara.
Sebaliknya, tiba waktunya penentuan partai atau calon nomor berapa yang akan dipilih, akan dilakukan sembunyi-sembunyi. Di sini berlakulah NPWP. Bukan Nomor Pokok Wajib Pajak. Tetapi N(omor) P(iro) W(ani) P(iro). Memang, ini semua adalah fenomena sosial, perubahan sosial bahwa keiklasan di desa untuk sementara sudah disingkirkan. Penduduk menjadi melek bahwa para pencari suara itu rela mengorbankan kekayaannya, demi sesuatu yakni kursi sebagai Wakil Rakyat, di tingkat pusat maupun daerah. Para calon pemilih juga menyadari bahwa aspirasi mereka tentu kecil kemungkinan akan diperjuangkan karena kalau sudah terpilih, sang Wakil Rakyat pertama-tama ingin mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkannya.
Konon, untuk mendapatkan 1 kursi di Senayan, biaya politik yang harus dikeluarkan oleh sang calon tak kurang dari Rp10.000.000.000.- (betul, nolnya sepuluh). Berapa biaya yang dikeluarkan untuk menjadi Wakil Rakyat di tingkat propinsi ? Pengeluaran mendekati angka Rp5 miliar pasti harus disediakan karena sang calon harus membuat raturan baliho yang harus disebar di seantero kawasan, selebaran,iklan dan sebagainya. Dan jangan lupa, biaya pendekatan langsung. Ya itu tadi, biaya membeli suara, walau sesungguhnya merupakan perbuatan terlarang. Paling tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Mengapa begitu banyak orang yang bernafsu untuk merebut kursi Wakil Rakyat itu ?. Yang pasti tentu saja bukan karena terdorong untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Kalaupun sering terdengar, tentu itu sekedar retorika belaka. Yang Pasti, berhasil menjadi anggota DPR atau DPD walau hanya untuk 1 periode, 5 tahun, berarti terjamin hari tua. Dapat pensiun. Soal, gaji, soal tunjangan, soal fasilitas tak perlu diceritakan lagi. Menggiurkan.
Nah, jangan menyalahkan penduduk kalau mereka selalu bertanya “wani piro” ? Soal memilih atau tidak, itu sih rahasia !***