OLEH: WIDI GARIBALDI
Blusukan, adalah metode yang dilakukan Jokowi ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI. Ia langsung mendatangi rakyat. Ia keluar masuk rumah penduduk yang reot. Menyaksikan dapur yang tak lagi ngebul.
Mengetahui ada calon pemimpin yang merasa “senasib dan sepenanggungan”, tentu saja menyentuh hati masyarakat. Rakyat merasa menemukan pemimpin yang diidam idamkan selama ini. Merakyat, tidak menempatkan dirinya sebagai Penguasa yang harus dilayani. Mana ada calon Gubernur, mana ada calon Presiden yang keluar masuk rumah rakyat, mendatangi daerah terpencil di pulau -pulau terluar. Mana ada Pemimpin yang mau bersilaturakhmi dengan petani menyusuri pematang sawah yang becek ? Sungguh itu semua sangat menyentuh hati rakyat.
Tapi itu dulu. Di akhir periode keduanya sebagai Presiden, kesan itu seolah olah sirna. Jokowi yang dulu begitu melekat di hati rakyat kini mulai berubah menjadi pemimpin yang berjarak jauh dari rakyatnya.
POLITIK DINASTI
Sejak adik iparnya, Anwar Usman yang Ketua Mahkamah Konstitusi berhasil menukangi Putusan MK dan membentangkan karpet merah untuk keponakannya Gibran untuk menjadi calon Wakil Presiden, langkah Jokowi yang sedang membangun dinasti politik menjadi semakin nyata. Betapa tidak. Walikota Medan, Bobby Nasution, yang digadang gadang akan menjadi Gubernur Sumatra Utara, adalah menantunya.
Kaesang, putranya yang tiba-tiba menjadi Ketua partai PSI sedang dipersiapkan untuk menjadi Gubernur Jawa Tengah. Apakah ini salah ? Tentu saja tidak.Tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Tapi jangan mengelak kalau ada yang menuduh bahwa Presiden sedang membangun dinasti politik. Menjunjung anak, menantu agar mereka dapat menduduki kursi empuk sebagai Walikota,Gubernur atau Wakil Presiden. Mumpung ayahnya menjadi Presiden. Membuka jalan seluas luasnya bagi sanak keluarga, terutama dalam kultur Jawa adalah biasa. Tidak demikian halnya dalam kultur kampung halaman Ompung Luhut.
Bagi Jokowi yang Presiden RI, menuntaskan anaknya,Gibran, sebagai Wakil Presiden untuk tahun 2024-2029 nampaknya sudah menjadi suatu keharusan. Pelan-pelan, sesuai dengan gaya Solo-nya, ia mulai “membuka kartu” bahwa ia walau sebagai Presiden akan berpihak dan berkampanye memenangkan calon tertentu. Tentu saja, pasangan calon dimana anaknya sendiri yang menjadi Cawapres. Mengacu kepada UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ia menunjuk pasal 281 dan 299 yang menyebut seorang Presiden boleh saja berpihak dan kampanye.Penjelasan itu disampaikannya dalam Youtube Sekretariat Presiden. Seolah-olah masyarakat tak mengetahuinya, ia berulangkali mengingatkan adanya peraturan hukum yang mengizinkannya berkampanye, walau sebagai Presiden.
Sayang sekali, ia sama sekali tidak menyinggung bahwa ia adalah Presiden seluruh rakyat.Bukan hanya Presiden pasangan calon tertentu. Karena itu, Presiden yang tadinya sudah melekat di hati rakyat sungguh tidak elok manakala hanya berkampanye untuk pasangan calon tertentu.
Akan semakin tidak elok, manakala Presiden juga mengacu kepada ketentuan Pasal 283 ayat (1) UU No. 7/2017 yang menyatakan bahwa Pejabat Negara dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu. Bentuk kegiatan yang dilarang dijelaskan dalam Pasal 283 ayat (2) yakni meliputi pertemuan,ajakan,imbauan seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.
Alhasil, Jokowi yang Presiden dan kini tidak berstatus sebagai Capres seyogianya tidak berkampanye dan memihak. Soalnya, salah satu Paslon adalah anaknya sendiri.
Memang, kalau dulu Jokowi amat dekat di hati rakyat, sekarang belum tentu. Lain Bengkulu, lain Semarang. Lain dulu lain sekarang ***