Bagi sejumlah ketum partai ternyata ada udang dibalik Gibran. Katanya Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto lebih bernuansa titip diri. Keduanya sedang menghadapi kasus di Kejaksaan Agung. Zul harus bertanggung jawab atas dugaan korupsi impor gula. Dia mengaku sudah diperiksa dan kantornya digeledah penyidik kejagung. Tapi Zul berkilah itu mah kasus lama, sebelum dia menjabat menteri Perdagangan.
“Itu mah badai lama yang belum berlalu” kelitnya kepada media.
Untuk itu dia terpaksa melupakan Erick Tohir yang sebelumnya mau dicalonkan PAN jadi Cawapres.
Adapun Airlangga yang sempat diperiksa penyidik kejagung, terpaksa ampar karpet merah untuk GRR. Dia mengorbankan ambisinya serta keputusan partai (Golkar) yang sudah mencalonkan dia. Tak lain dan tak bukan demi titip diri kepada Jokowi yang masih punya relasi kuasa.
Logikanya jika Prabowo-Gibran menang mereka merasa aman suraman karena tetap berada di lingkar kekuasaan. Strategi ini terbukti berarti. Kejagung terkesan menghentikan kasus itu.
Oleh karena itu mereka berjuang habis-habisan. Bergerak serentak. Kalau perlu dengan segala cara. Netralitas menjadi bias.
Sampai sampai Jokowipun mengisaratkan akan ikut kampanye, seraya menenteng pasal 299 dalam UU 7 tahun 2017 yang membolehkan presiden ikut kampanye.
Prinsipnya mereka harus menang, kalau bisa satu putaran. Mereka hiraukan mahasiswa mulai turun ke jalan dengan membawa slogan “tolak politik dinasti dan turunkan Jokowi sekarang juga”.
Jokowi cs juga belum respon petisi Bulak Sumur dari civitas akademica Universitas Gajahmada 30 Januari kemarin. Petisi mengkritisi kejanggalan kejanggalan perilaku pejabat penyelenggara negara termasuk presiden Jokowi. Dan memintanya “kembali ke jalan yang benar”.
Jokowi dan para pendukungnya yaqin pada kekuatan infrastruktur pengamanan yang sudah dibangun Jokowi. Menteri Pertahanan, Kapolri dan panglima TNI semua orang dekat, semua balad. Amanlah sudah.