Itulah sebabnya kenapa kemarin di Jogja saat menyampaikan Petisinya, Prof Koentjoro (Guru Besar Psikologi UGM) memimpin dengan menyanyikan Lagu “Hymne Gadjah Mada” ciptaan Sutasoma yang diaransemen RB Sunarno yang artinya sangat dalam.
Bagaimana tidak, Hymne yg terdiri atas 2 stanza ini memang sebenarnya ditujukan kepada seluruh Keluarga Besar UGM yang terdiri atas Mahasiswa (yg masih atau pernah kuliah) dan juga Alumnus (yang lulus atau “lolos”) dari UGM.
Simak Syair lengkap stanza 1 & 2 Hymne itu dibawah ini :
(Stanza pertama)
Bakti kami mahasiswa Gadjah Mada semua
Kuberjanji memenuhi panggilan bangsaku
di dalam Pancasilamu jiwa seluruh nusaku,
Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Indonesia.
(Stanza Kedua)
Bagi kami almamater kuberjanji setia
Kupenuhi dharma bakti tuk Ibu Pertiwi
di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku ,
Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara .
Jadi seandainya saja ada orang yang tidak layak untuk menyanyikan (atau dinyanyikan) Stanza kedua-nya, mungkin dia memang tidak akan tersentuh ketika mendengar Stanza kedua tersebut dinyanyikan, meski oleh Para Profesor dan Guru Besarnya.
Apalagi kalau diharapkan kemudian dia tergerak untuk merubah sikapnya, karena sebagaimana istilah dalam Bahasa Jawa yang sering ditulis, kalau “Watuk” (=Batuk) memang bisa diobati, tetapi kalau “Watak” (=Tabiat) akan sulit diubah karena tidak ada Obatnya.
Hal ini juga bisa berarti dia tidak akan terlalu menganggap Gerakan Moral ini, atau setidaknya hanya mengatakan; “biasa dalam Demokrasi …”.
Padahal justru Makna dari Gerakan Moral ini sangat dalam, sedalam Makna di Hymne di atas jika memahaminya. Hal yang sama juga tanpak dari berbagai statemen Politisi yang menikmati kondisi sekarang, dimana mereka mengatakan “Jangan membesar-besarkan Gerakan Moral yang tidak ada apa-apanya” (katanya).