OLEH WIDI GARIBALDI
Di manapun, gedung Pengadilan itu selalu ditopang oleh pilar yang jumlahnya empat. Baik di kabupaten,kota,propinsi maupun di Ibukota. Termasuk gedung Mahkamah Agung di jalan Merdeka Utara Jakarta Pusat. Ke-4 pilar itu menunjukkan keberadaan macam Peradilan di Indonesia. Ada peradilan Umum, ada peradilan Agama. Juga ada peradilan Militer dan peradilan Tata Usaha Negara. Manakala negara atau Anda ingin mencari keadilan, kemungkinan besar Anda akan menemukannya di salah satu peradilan itu. Tetapi, harus diingat bahwa mencari keadilan itu, jauh lebih mudah daripada menemukannya.
Kalau gedung Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan di bawahnya, selalu ditopang 4 pilar, lain halnya dengan Mahkamah Konstitusi di jalan Medan Merdeka Barat Jakarta. Gedung bergaya arsitektur neo klasik Yunani atau Romawi kuno itu pembangunannya dimulai tanggal 17 Juni 2005. Gedung itu memiliki 9 pilar. Punya makna yang penuh arti (meaning full) kata Jimly Asshiddiqie yang menjadi Ketua MK pertama. Menggambarkan jumlah 9 orang Hakim yang dianggap sebagai Negarawan sejati, untuk menguji keabsahan undang-undang terhadap Konstitusi. Malangnya, Ketua MK pertama itu pula ketika menjadi Ketua MKMK menjatuhkan putusan bahwa pilar utamanya ( Anwar Usman sebagai ketua MK) melakukan pelanggaran etika berat sehingga harus dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Lain MA dan MK. Lain pula cerita lembaga tinggi negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pilar yang dimaksud di sini bukan penopang gedung. Gedung MPR (sekaligus gedung DPR dan DPA) di Senayan yang mirip kura-kura itu dirancang oleh Soejoedi Wirjoatmojo dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 22 Februari 1965. Ada juga yang menggambarkan bahwa gedung itu menggambarkan kepakan sayap burung Garuda yang akan terbang. Yang pasti gedung MPR/DPR/DPD ini tak memiliki pilar. Kalau kita bicara pilar,yang dimaksud di sini adalah Pancasila, UUD NRI Tahun 1945,NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Ke-4 pilar ini merupakan kegiatan resmi dari MPR yang dikemas dalam bentuk sosialisasi. Maklum lembaga tinggi negara yang beranggota sekitar 700 orang itu hanya berkegiatan resmi lima tahun sekali.
Wartawan pejuang
Bahwasanya wartawan itu adalah pejuang, tak perlu diragukan lagi. Perjuangannya melawan kolonialisme, ditandai dengan penetapan lahirnya organisasi wartawan PWI pada tanggal 9 Februari 1946, sebagai Hari Pers Nasional.Bersenjatakan pena, para wartawan Indonesia melawan penjajah. Seiring dengan lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 tidak kurang dari 400 penerbitan berbagai corak di seantero Nusantara terbit. Bersenjatakan pena dan tinta menggempur pihak Kolonial. Hasilnya, dunia mengetahui api kemerdekaan sedang berkobar di Tanah Air. Belanda yang ketakutan, mencoba melawan dengan mengeluarkan Persbreidel Ordonantie pada bulan September 1931. Akibatnya, tidak sedikit wartawan pejuang yang dijerumuskan ke dalam penjara.
Setelah Indonesia merdeka, masa berganti masa, watak pejuang itu tetap terpatri. Kalau dulu yang menjadi musuh adalah pihak penjajah, maka sejak kemerdekaan, pena wartawan ditujukan untuk melawan mereka yang mengingkari dan menghalangi tercapainya cita-cita bangsa dan negara. Kalau dunia Barat sejak lama sudah mengenal ajaran Trias Politika yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh filsul Inggeris John Locke dan kemudian dikembangkan oleh seorang pemikir Perancis bernama Montesquieu ( 1689-1755), maka kita di Indonesia sudah lama pula mengenal adanya 4 pilar kekuasaan. Bukan hanya 3 pilar kekuasaan yakni kekuasaan Legislatif (membentuk UU), Eksekutif ( melaksanakan) dan Yudikatif ( mengawasi), tetapi juga pilar ke-4 Social Control. Pengawasan yang dilakukan oleh Masyarakat. Pers mewakili masyarakat melakukan pengawasan itu, karena kekuasaan yang dilakukan oleh ketiga Lembaga Negar,a ternyata sering diselewengkan. Korupsi merajalela, demokrasi tercoreng.
Perjuangan Pers yang tak kenal lelah. Tak kenal pamrih.***