Mulai tumbuh watak otoritarian, egosektoral, gila kuasa. Watak watak itu kemudian menciptakan situasi dan kondisi bangsa mulai terusik. Mereka mulai merasakan rontoknya demokrasi, keadilan hukum, ekonomi dan ketimpangan hidup.
Kegelisahan publik meningkat pada sekala tinggi ketika dia (Jokowi), sadar atau tidak, terjebak dalam politik dinasti dengan memaksa putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri menjadi wakil presiden pada 2024, melalui cara merusak lembaga peradilan yang bernama Mahkamah Konstitusi.
Kebetulan ketua lembaga super yudikatif itu dipimpin adik iparnya, Anwar Usman.
Sebuah putusan MK (no.90/PUU-XXI/2023) memungkinkan sang putra (GRR) melenggang ke pencalonan (wapres). Langkah pak lurah ini memicu reaksi keras dari banyak elemen dan komponen masyarakat.
Publik menganggap itu perbuatan nepotisme dalam rangka mensukseskan politik dinasti.
Kekecewaan publik mulai muncul pelahan tapi beranjak pasti. Slow but sure.
Sejak akhir 2023, lahir gerakan rakyat (people power). Ada Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Ada Petisi 100. Terahir ini, diawali Universitas Gajah Mada (31Januari 24), muncul petisi Bulaksumur yang dikeluarkan civitas akademika (guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni).
Petisi UGM itu, dalam waktu singkat diikuti berbagai civitas akademika perguruan tinggi lain. Sampai tanggal 7 Februari 24 kemarin, telah lebih dari 60 buah pernyatan sikap ketidak puasan atas pemerintahan presiden Jokowi.
Nama dan susunan katanya (redaksi) variabel, tapi konten /subtansinya hampir sama. Menyoroti hancurnya demokrasi, timpangnya keadilan hukum, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Tumbuhnya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dugaan pemilu curang dan ketidak netralan aparat, mulai Presiden, Menteri Kepala Daerah sampai Lurah.
Menyusul lembaga perguruan tinggi, belakangan mucul pula pernyataan sikap dari berbagai organisasi publik. Para seniman Solo menyampaikan keresahan di makam pahlawan nasional dan rektor pertama UI, R. Soepomo.