Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
KORANMANDALA.COM – Jika saja ada pertanyaan siapa wartawan pribumi pertama yang menggelorakan semangat melawan kolonialisme di republik ini, rasanya jawaban yang tepat adalah Tirto Adhy Soerjo.
Bukti empirisnya adalah, ketika para wartwan, para redaksi serta pemilik surat kabar berkumpul di gedung Sono Soeko (sekarang gedung Monumen Pers) Solo, selain menyatakan pembentukan organisasi wartawan yang bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga menetapkan Tirto Ady Soerjo sebagai bapak Pers Nasional.
Mau tahu fakta sejarahnya ? Sesungguhnya Tirto Adhy Soerjo itu (lahir di Blora 1880) memiliki darah biru. Kakeknya RM Toemenggung Tirto Noto adalah mantan Bupati Rembang, ayahnya RM Ngabehi Mohammad Tirtodipuro salah seorang petinggi di Kabupaten Rembang. Pamannya Jaksa Kepala di Kabupaten Kudus.
Jadi sesungguhnya Tirto bisa juga menjadi ambtenar. Dan karena keterunan ningrat, dia bisa tanpa kendala masuk sekolah kedokteran Stovia di Betawi (Jakarta).
Tapi tidak sampai tamat, karena keburu kepincut dunia jurnalistik. Setelah mendapat bantuan modal dari sana-sini, salah satunya dari bupati Cianjur, Raden Martadireja tahun 1903, Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita di Bandung. Itu merupakan surat kabar pertama yang 100% dikelola oleh orang-orang pribumi. Wartwan, redaktur, termasuk pemimpin redaksi serta Tata Usaha, semua orang pribumi.
Lebih dari itu Tirto menjadikan koran itu sebagai media perjuangan menuju kemerdekaan. Motto korannya berbunyi “Organ untuk bangsa yang terperintah”.
Tirto sendiri sering menulis. Isinya menelanjangi keburukan pemerintah kolonial. Akibatnya dia terkena delik pers dan harus menjalani hukuman penjara di Lampung selama 2 tahun.
Lepas dari “pembuangan”, Tirto tidak kapok dan mendirikan lagi Medan Prijaji (1907) dan Poetri Hindia (1908).
Dia terus menjadikan korannya untuk menyerang pemerintah kolonial. Dia sendiri sering menulis dengan menggunakan inisial T.A.S.
Salah satu tulisan T.A.S yang mengungkap perilaku Residen Ravenswaai dan residen Borsvain yang dituduh menjegal pengangkatan putra RM Adipati Djojodiningrat (suami RA Kartini ) menjadi pengganti ayahnya.